Friday, 22 October 2010

Pembagian Hadits dari Segi Kualitas dan Kuantitasnya

A. HADITS BERDASARKAN KUANTITAS
2.1Hadis Mutawatir
2.1.1 Pengertian Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan sejumlah orang yang mustahil akan bersepakat untuk berbohong dalam meriwayatkannya. Para ulama sepakat, ketentuan hadis mutawatir harus diamalkan. Empat kriteria hadis mutawatir adalah sebagai berikut:
a. Diriwayatkan Sejumlah Orang Banyak
Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada para perawi hadis tersebut dan tidak ada pembatasan yang tetap. Di antara mereka berpendapat 4 orang, 5 orang, 10 orang, 40 orang, 70 orang bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Namun, pendapat yang terpilih minimal 10 orang seperti pendapat Al-Ishthikhari.

b. Adanya Jumlah Banyak Pada Seluruh Tingkatan Sanad.
Jumlah banyak orang pada setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir sanad. Jika jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka tidak dinamakan mutawatir , tatapi dinamakan ahad atau wahid.
c. Mustahil Bersepakat Bohong
Di antara alas an pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir adalah pencapaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena dimungkinkan adanya kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka menganalogikan dengan realita dunia modern dan kejujurannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, apalagi jika ditunggangi masalah politik dan lain-lain. Demikian halnya belum dikatakan mutawatir karena sekalipun sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih memungkinkan untuk berkosensus berbohong.
d. Sandaran Berita Itu Pada Pancaindra
Maksud sandaran pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau dilihat dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika atau akal seperti tentang sifat barunya alam, berdasarkan kaedah logika; Setiap yang baru itu berubah (Kullu hadis in mutghayyirun). Alam berubah (al-alamu mutaghayyirun). Jika demikian, Alam adalah baru (al-alamu hadis un). Baru artinya sesuatu yang diciptakan bukan wujud dengan sendirinya. Jika berita hadis itu logis, maka tidak mutawatir . Sandaran berita pada pancaindra misalnya ungkapan periwayatan:
: Kami mendengar [dari Rasulullah bersabda begini]
: Kami sentuh atau kami melihat [Rasulullah melakukan begini dan seterusnya].
2.1.2 Pembagian Hadis Mutawatir
Sebagian jumhur ulama menyebutkan Hadis Mutawatir ada 3 yaitu :
a. Hadis Mutawatir Lafdhi
Hadis mutawatir lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama. Dengan demikian garis besar serta perincian maknanya tentu sama pula, juga dipandang sebagai hadis mutawatir lafdhi, hadis mutawatir dengan susunan sedikit berbeda, karena sebagian digunakan kata-kata muradifnya (kata-kata yang berbeda tetapi jelas sama makna atau maksudnya). Sehingga garis besar dan perincian makna hadis itu tetap sama.
Contoh hadis mutawatir lafdhi yang artinya:
“Rasulullah SA W, bersabda: “Siapa yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia menduduki tempat duduknya dalam neraka”. (Hadis Riwayat Bukhari)
Hadis tersebut menurut keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang sahabat, bahkan menurut keterangan ulama lain, ada enam puluh orang sahabat, Rasul yang meriwayatkan hadis itu dengan redaksi yang sama.
b. Hadis Mutawatir Maknawi
Hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun berbeda redaksinya dan berbeda perincian maknanya. Dengan kata lain, hadis-hadis yang banyak itu, kendati berbeda redaksi dan perincian maknanya, menyatu kepada makna umum yang sama.
Jumlah hadis-hadis yang termasuk hadis mutawatir maknawi jauh lebih banyak dari hadis-hadis yang termasuk hadis mutawatir lafdhi.
Contoh hadis mutawatir maknawi yang artinya:
“Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu berdoa memohon hujan (Hadis Riwayat Mutafaq' Alaihi)”.
c. Hadis Mutawatir ‘Amali
Hadis mutawatir ‘amali adalah hadis mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya. Contoh : Hadis-hadis Nabi tentang waktu shalat, tentang jumlah rakaat shalat wajib, adanya shalat Id, adanya shalat jenazah, dan sebagainya.
Segala macam amal ibadah yang dipraktekkan secara sama oleh umat Islam atau disepakati oleh para ulama, termasuk dalam kelompok hadis mutawatir ‘amali. Seperti hadis mutawatir maknawi, jumlah hadis mutawatir ‘amali cukup banyak. Diantaranya, shalat janazah, shalat ‘ied, dan kadar zakat harta.

2.1.3 Kedudukan Hadis Mutawatir
Seperti yang telah disinggung, hadits-hadits yang termasuk kelompok hadis mutawatir adalah hadits-hadits yang pasti (qath'i atau maqth'u) berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama menegaskan bahwa hadis mutawatir membuahkan “ilmu qath'i” (pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang pasti bahwa perkataan, perbuatan atau persetujuan berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama juga biasa menegaskan bahwa hadis mutawatir membuahkan “ilmu dharuri” (pengetahuan yang sangat mendesak untuk diyakini atau dipastikan kebenarannya), yakni pengetahuan yang tidak dapat tidak harus diterima bahwa perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang disampaikan oleh hadis itu benar-benar perkataan, perbuatan, atau persetujuan Rasulullah SAW.
Taraf kepastian bahwa hadis mutawatir itu sungguh-sungguh berasal dari Rasulullah SAW, adalah penuh dengan kata lain kepastiannya itu mencapai seratus persen.
Oleh karena itu, kedudukan hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali. Menolak hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadis ahad.
2.2 Hadits Masyur
Hadits Masyur adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 perawi atau lebih. Tetapi tidak sampai derajat mutawatir.
Masyhur menurut bahasa berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafidah menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi menurut bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama berarti hadist yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan hadist mustafidah sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu: hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau mencapai derajat hadist mutawatir . Sedangkan batasan tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada setiap tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadist mutawatir .
Contoh hadist masyhur (mustafidah) adalah hadist berikut ini:
Yang artinya: “Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh lidah dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) “
Hadist di atas sejak dari tingkatan pertama (tingkatan sahabat Nabi) sampai ke tingkat imam-imam yang membukukan hadist (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim, dan Turmudzi) diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap tingkatan.
2.3 Hadis Ahad
2.3.1 Pengertian Hadis Ahad
Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang tidak mencapai syarat-syarat mutawatir. Ulama mazhab hanafi menambahkan 1 macam hadis diantara mutawatir dan ahad, yaitu hadis masyur. Menurut mereka, hadis masyur adalah hadis yang diriwayatkan oleh 3 orang perawi atau lebih. Tetapi tidak sampai derajat hadis mutawatir.
2.3.2 Pembagian Hadis Ahad
a. Hadist ‘Aziz
‘Aziz menurut bahasa, berarti: yang mulai atau yang kuat dan juga berarti jarang. Hadist ‘aziz menurut bahasa berarti hadist yang mulia atau hadist yang kuat atau hadist yang jarang, karena memang hadist ‘aziz itu jarang adanya. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadist ‘aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.
Berdasarkan batasan di atas, dapat dipahami bahwa bila suatu hadist pada tingkatan pertama diriwayatkan oleh dua orang dan setelah itu diriwayatkan oleh lebih dari dua rawi maka hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist ‘aziz.
Contoh hadist aziz adalah hadist berikut ini:
Yang artinya: “Rasulullah SAW bersabda: “Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia) dan yang paling terdahulu di hari qiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah)”.
Hudzaifah dan abu hurairah yang dicantumkan sebagai rawi hadist tersebut adalah dua orang sahabat Nabi, walaupun pada tingkat selanjutnya hadist itu diriwayatkan oleh lebih dari dua orang rawi, namun hadist itu tetap saja dipandang sebagai hadist yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, dan karena itu termasuk hadist ‘aziz.
b. Hadist Gharib
Gharib, menurut bahasa berarti jauh, terpisah, atau menyendiri dari yang lain. Hadist gharib menurut bahasa berarti hadist yang terpisah atau menyendiri dari yang lain. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut: hadist gharib adalah hadist yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada tingkatan maupun dalam sanad. Dari segi istilah ialah Hadis yang berdiri sendiri seorang perawi di mana saja tingkatan (thabaqah) dari pada beberapa tingkatan sanad.
Berdasarkan batasan tersebut, maka bila suatu hadist hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi dan baru pada tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadist tersebut tetap dipandang sebagai hadist gharib.
Contoh hadist gharib itu antara lain adalah hadist berikut:
Yang artinya: “Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Amal itu hanya (dinilai) menurut niat, dan setiap orang hanya (memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain) “
2.3.3 Kedudukan Hadis Ahad
Bila hadist mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian hadist ahad . Hadist ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga ( zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hadist ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau.
Karena hadist ahad itu tidak pasti (hgairu qath'i atau ghairu maqthu'), tetapi diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadist ahad , sebagai sumber ajaran Islam, berada dibawah kedudukan hadist mutawatir . Lain berarti bahwa bila suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist ahad , bertentangan isinya dengan hadist mutawatir , maka hadist tersebut harus ditolak.

B. HADITS BERDASARKAN KUALITAS
2.4 Hadits Shahih
Hadits Shahih menurut para ulama adalah “hadits yang sanadnya sambung, dikutib oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasullah S.A.W, atau kepada sahabat, atau kepada tabi’in, bukan hadits yang syadz (kontroversial) dan terkena ‘illat, yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya”.
Dari definisi diatas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a.Sesunnguhnya hadits yang shahih ialah yang musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang teratas. Hadits shahih dalam sifatnya juga disebut sebagai yang Muttashil atau maushul (yang sambung). Hadits mursal tidak bisa disebut juga sebagai hadits Shahih, karena kehilangan sanadnya yang sambung. Ia lebih tepat dikatakan sebagai da’if. Demikian pula dengan hadits yang munqathi’, atau yang terputus, juga tidak bisa disebut hadits shahih, karena salah seorang tokohnya gugur sanadnya, atau ada salah seorang tokohnya yang belum jelas diketahui disebut-sebut dalam sanad tersebut. Tidak diketahui dengan jelas identik dengan gugur. Sama seperti jenis itu ialah hadits mu’adldlal yaitu hadits yang dalam sanadnya gugur dua orang atau lebih.
b.Sesungguhnya hadits shahih syadz. Rawi yang meriwayatkan memang terpercaya, akan tetapi ia menyalahi rawi-rawi lain yang lebih tinggi.
c.Sesungguhnya hadits shahih bukanlah hadits yang terkena ‘illat. I’llat adalah sifat tersmbunyi yang mengakibatkan hadits tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara lahiriah hadits terbebas dari illat.
d.Sesungguhnya seluruh tokoh sanad hadits bukan hadits shahih itu bersifat adil dan cermat, haditsnya dianggap da’if dan tidak shahih lagi.
Hadits shahih dibagi menjadi dua, yaitu shahih murni dan shahih tidak murni. Shahih murni adalah shahih yang memiliki sifat-sifat penerimaan hadits pada tingkat yang tinggi. Sedangkan shahih tidak murni adalah yang menjadi shahih karena sesuatu yang lain. Yakni apabila ia tidak memuat sifat-sifat diterimanya suatu hadits pada tingkat yang tertinggi, seperti hadits hasan yang tingkat perawinya tidak dapat mencapai kedudukan perawi hadits shahih.

Kriteria hadits shahih yang telah dirumuskan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
a.Sanad hadits tersebut harus bersambung, maksudnya adalah bahwa setiap perawi menerima hadits secara langsung dari perawi yang berada diatasnya, dari awal sanad sampai ke akhir sanad, dan seterusnya sampai kepada Rasulullah.
b.Perawinya adalah adil, maksudnya setiap perawi hadits tersebut harus bersifat adil, yaitu memenuhi criteria: Muslim, balig, berakal, taat beragama, tidak melakukan perbuatan fasik, dan tidak rusak muru’ah-nya.
c.Perawinya adalah dhabith, yaitu memiliki ketelitian dalam menerima hadits.
d.Bahwa hadits yang diriwayatkan tersebut tidak syadz, artinya hadits tersebut tidak menyalahi riwayat perawi yang lebih tsiqat dari padanya.
e.Bahwa hadits yang diriwayatkan tersebut selamat dari I’llat yang merusak.
Contoh hadits shahih: “hadits diriwayatkan oleh Bukhari di dalam kitab shahihnya, ia berkata, “telah menceritakan kepada kami ‘Abd Allah Ibn Yusuf, dia berkata, ‘telah mengabarkan kepada kami Malik Ibn Syihab dari Muhammad Ibn Jubair Ibn Muth’im dari ayahnya, ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah S.A.W. Membaca surat at-thur pada waktu shalat magrib’.”

2.5 Hadits Hasan
Hadits hasan yaitu hadits yang memiliki sifat musyabahat dari lafadh “al hasan” artinya yang baik, yang bagus. Imam Turmudzi mendefinisikan sebagai berikut: “hadits yang sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya”.
Jumhur muhaditsin mendefinisikan: “hadits yang dinuklilkan oleh seorang yang adil (tetapi) tidak begitu kokoh ingatannya, bersambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya”.
Menurut Al-Hafidh dalam Nukhbatul Fikrar hadits hasan adalah: “hadits yang dinuklilkan oleh seorang yang adil, yang kurang kuat ngatannya yang muttashil (bersambung sanadnya), yang musnad atau jalan datangnya (sampai kepada Nabi Saw), yang tidak cacat dan tidak mempunyai keganjilan”.
Menurut definisi AL-Khattabi hadits hasan adalah khabar yang telah diketahui makhrajnya (tempat keluarnya), para perawinya terkenal. Kepadanya sembu kebanyakan hadits dan khabar yang di terima oleh mayoritas ulama serta dipakai oleh semua ahli fiqh atau dengan ungkapannya: “hadits hasan adalah yang dikenal orang-orangnya, yang masyur makhrajnya/ masyur perawi-perawinya”.
Sedangkan Ibnu Hajjar mendefinisikan dengan khabar ahad yang dinukil oleh seorang perawi yang adil dan sempurna kecermatannya, muttashil sanadnya, tidak terkena ‘illat dan tidak syadz. Khabar yang demikian disebut khabar shahih li dzatihi, apabila kecermatannya sedikit, maka khabar itu disebut sebagai hasan li dzatihi.
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan diatas, para ulama hadits merumuskan bahwa kriteria hadits hasan adalah sama dengan hadits shahih kecuali bahwa pada hadits hasan terdapat perawi yang tingkat ke-dhabithannya kurang,/ lebih rendah, dari yang dimiliki oleh perawi hadits shahih. Oleh karenanya, Ibn Hajjar menegaskan bahwa hadits hasan merupakan hadits shahih yang perawinya memiliki sifat dhabith lebih rendah dari yang dimiliki oleh perawi hadits shahih.
Dengan demikian, kriteria hadits hasan ada lima, yaitu:
a.Sanad hadits tersebut harus bersambung.
b.Perawinya adalah adil.
c.Perawinya mempunyai sifat dhabith, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadits shahih.
d.Bahwa hadits yang diriwayatkan tersebut tidak syadz.
e.Bahwa hadits yang diriwayatkan tersebut selamat dari ‘ilat yang merusak.

Contoh hadits hasan: “diriwayatkan oleh Tirmidzi, dia berkata, “telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Ja’far Ibn Sulaiman al-Dhaba’I, dari Abi ‘Imran al-Juwayni, dari Abu Bakar Ibn Abu Musa al-Asy’ari, dia berkata, ‘aku mendengar ayah berkata, dihadapan musuh, Rasulullah S.A.W. Bersabda. ‘sesungguhnya pintu-pintu surga itu ada dibawah naungan pedang, . . .”
Hadits hasan terbagi atas dua jenis, yaitu hasan lidzatih (hasan dengan sendirinya). Dan hasan ligharrih (hasan dengan terpotong hadits lain).
Apabila hanya disebut “hadits hasan”. Yang dimaksudkan adalah hadits hasan lidzatih, dinamakan hasan lidzatih, karena sifat kehasannannya muncul diluarnya. Dengan demikian, hasan lidzatih ini dengan sendirinya telah mencapai tingkatan shahih dalam berbagai persyaratannya, meskipun nilainya sedikit dibawah hadits shahih berdasarkan ingatan perawinya.
Adapun batas hasan lighairih adalah: hadits yang dalam isnadnya terdapat orang yang tidak diketahui keadaannya, tidak bisa dipastikan kelayakannya atau ketidaklayakannya. Namun ia bukan orang yang lengah yang banyak berbuat salah dan tidak pula dituduh berbuat dusta. Sedangkan matannya didukung oleh mutabi’ atau syahid.





2.6 Hadits Da’if

Artinya: “Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan”.
Kata da’if pada lughah artinya ajij atau lemah, yaitu hadits yang lemah atau tidak kuat.
An-Nabawi mendefinisikan dengan: “hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan”.
Mayoritas ulama menyatakan bahwa sunnah hukumnya dalam amal-amal yang utama saja, namun harus disertai tiga syarat yang telah dijelaskan oleh al-Hafidh Ibnu Hajjar, antara lain:
a.Dla’ifnya tidak keterlaluan.
b.Hadits da’if itu harus masuk dibawah pokok yang yang dikerjakan.
c.Ketika mengamalkannya tidak mempercayai ketetapannya, tetapi hanya mempercayai melalui hatinya.
Kriteria hadits da’if:
a.Terputusnya hubungan antara satu perawi dengan perawi lainnya dalam sanad hadits tersebut, yang seharusnya bersambung.
b.Terdapat cacat dalam diri salah satu perawi atau matan dari hadits tersebut.
Contoh hadits da’if: hadits yang diriwayatkan oleh bukhari pada mukaddimah bab “mengenai menutupi paha”; berkata Abu Musa,’ “Rasulullah S.A.W menutupi kedua lutut beliau ketika ‘Utsman Masuk,”
2.6.1 Pembagian hadist Dha’if
Secara garis besar hadist dhaif dapat diklasifikasikan menjadi dua klasifikasi besar; yaitu dhaif yang disebabkan karena sanadnya tidak bersambung dan dhaif yang disebabkan karena sebab-sebab lain.
a. Dhaif yang disebabkan karena sanadnya tidak bersambung.
- Mu’allaq, yaitu hadist yang pada permulaan sanadnya gugur seorang perawi atau lebih secara berturut-turut.
- Mursal, Hadist yang pada sanadnya tidak disebutkan nama sahabat yang meriwayatkan langsung dari Rasullullah SAW, namun tabi’innya langsung menyebutkan dari Rasullullah SAW.
- Mu’dhal, Hadist yang pada pertengahan sanadnya gugur dua orang rawi atau lebih secara berturut-turut.
- Munqalt, Hadist yang pada pertengahan sanadnya gugur, seorang perawi atau lebih yang tidak berturut-turut.
- Mudallas
a. Tadlis Isnad. Hadist yang perawinya meriwayatkan hadist dari orang yang semasa dengannya namun sesungguhnya ia tidak pernah mendengarkan hadist darinya, dengan menggunakan lafal seolah-olah ia mendengarkan darinya.
b. Tadlis Suyukh. Hadist yang dalam sanadnya perawi menyebut syekh yang ia dengar sebutan atau sifat yang tidak dikenal, dengan tujuan supaya keadaan syekhnya yang sebenarnya tidak diketahui orang. Hal ini bias karena syekhnya tersebut dhaif atau karena sebab lainnya.

b. Dhaif yang disebabkan karena sebab-sebab lain yang bukan karena
ketidaktersambungan sanad.
1.Maudhu: Sesuatu yang diada-ada dan bukan berasala dari Rasullullah SAW, diatasnamakan bahwa ini berasal dari Rasullullah SAW, baik sengaja ataupun tidak sengaja.
2.Matruk: Hadist yang diriwayatkan dari perawi yang tertuduh berdusta serta tidak diketahui melainkan dari jaur sanadnya saja.
3.Munkar: Hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang dhaif, yang bertentangan dengan perawi tsiqah.
4.Mu’allat: Hadist yang seca dhazhirnya (permukaannya) terlihat shahih, namun ternyata memiliki aib/cacat tersembunyi.
5.Syadz: hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah, namun ternyata bertentangan dengan riwayat perawi lain yang lebih tsiqah darinya.
6.Mudraj: Hadist yang bercampur baik pada sanad atau matannya dengan sesuatu yang bukan merupakan bagian dari hadist tersebut.
7.Maqlub: Hadist yang pada sanadnya atau matannya ada pertukaran, dengan mengakhirkan yang awal atau mengawalkan yang akhir atau dengan hadist yang lainnya.
8.Mudhtarib: Hadist-hadist yang diriwayatkan dari berbagai jalur sanad yang sama-sama kuat dan saling bertentangan satu dengan yang lainnya, dan tidak dapat diputuskan mana yang lebih kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Armando, Ade dkk. Tanpa Tahun, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar Jilid 2. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve.
As-Shahih, Subhi. 2002. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ismail, Syuhudi. 1995. Kaedah Keshahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang.
Jumantoro, Totok. 2002. Kamus Ilmu Hadis. Jakarta: Bumi Aksara.
Yuslem, Nawir. 2001. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
(http://www.scribd.com/doc/29772097/Pembagian-Hadist-Dari-Segi-Kualitas-Dan-Kuantitas., diakses 18 Oktober 2010).
(http://hitsuke.blogspot.com/2009/07/klasifikasi-hadis-berdasarkan-kuantitas.html., diakses 18 Oktober 2010).