Sunday 28 April 2013

Keadaan Masyarakat Aceh pada Masa Penjajahan Belanda dan Jepang

Ini adalah wawancara langsung yang saya lakukan bersama teman kuliah saya mengenai keadaan Masyarakat Aceh pada zaman penjajahan,,, banyak cerita yang tidak dituliskan dalam buku-buku sejarah, sehingga wawancara langsung yang dilakukan sangat dapat menambah pengetahuan kita, sumber yang kami wawancara bernama Musalla, tulisan ini menggunakan sumber primer.
Keadaan Aceh pada masa penjajahan Belanda tidaklah seburuk pada masa penjajahan Jepang. Pada masa penjajahan Belanda, masyarakat Aceh masih memiliki kebebasan dalam segala segi kehidupan. Pada masa penjajahan Belanda, pasukan Belanda hanya berkonsentrasi pada daerah perkotaan saja dan sangat jarang masuk ke daerah pedalaman. Hal ini berbeda dengan masa penjajahan Jepang dimana para serdadu masuk hingga ke pelosok-pelosok pedesaan dengan membawa senjata sehingga membuat masyarakat pedesaan merasa hidup dalam tekanan. Masyarakat Aceh pada zaman penjajahan Belanda masih dapat dikatakan hidup layaknya manusia. Mereka bekerja seperti menanam padi di sawah (meugoё), beternak, menganyam daun rumbia, dan lain-lain. Dalam sistem jual-beli masyarakat menggunakan mata uang logam dan tidak mengenal adanya uang kertas. Pada masa penjajahan Belanda masyarakat Aceh sudah mengenal adanya pendidikan. Namun, pendidikan formal hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan (uleѐ balang) dan anak-anak para ulama, tidak untuk masyarakat umum. Pada masa dahulu setiap kampung hanya memiliki satu meunasah (surau), satu teungku, satu geuchik dan satu wakim (wakil mukim). Kegiatan keagamaan dilakukan di meunasah dengan teungku sebagai gurunya. Di sana anak-anak mempelajari sifat dua puluh, do’a dan tata cara sembahyang, serta kitab-kitab. Namun, pengajian Al-Qur’an tidak dilakukan di meunasah melainkan di rumah. Meskipun penjajahan yang dilakukan oleh Belanda tidaklah terlalu kejam seperti halnya yang dilakukan Jepang, masyarakat Aceh tetap tidak mau hidup dibawah penjajahan, mereka mengadakan perlawanan dengan menggunakan peralatan seadanya, yaitu tombak dan pisau panjang (parang). Pada awal masa kedatangan Jepang, Jepang memperlakukan masyarakat dengan cara yang sangat baik. Mereka masuk ke perkampungan dan menawarkan untuk membeli hasil-hasil peternakan dan perkebunan warga dengan harga yang tinggi dengan tujuan untuk menarik simpati warga. Namun, pada tahun-tahun berikutnya masyarakat Aceh mulai diperlakukan dengan sangat keji. Masyarakat mulai dilarang beraktivitas di luar kampung. Mereka menahan para lelaki yang hendak keluar dari kampung dengan memasukkan mereka ke dalam bubee busoe (Kurungan besi) dan mengancam akan memenggal kepala mereka. Menurut isu yang menyebar pada masa itu, Jepang telah memenggal seseorang yang berada di daerah Lantim dan memasukkannya kedalam sumur. Di tubuh korban ditancapkan kayu yang runcing agar mayatnya tetap berada didalam sumur tersebut. Saat ini sumur itu telah tertutup oleh tanah. Sedangkan perempuan pada masa Jepang tidak ditahan, mereka hanya dilarang beraktivitas di luar rumah. Para pemuda biasanya bersembunyi, karena apabila ditangkap oleh Jepang mereka akan dimasukkan ke dalam bubee busoe (kurungan besi). Pada masa penjajahan Jepang, kebebasan rakyat sepenuhnya telah dirampas, Masyarakat tidak lagi diperbolehkan untuk bertani atau melakukan pekerjaan lain sehingga mereka mulai mengalami kelaparan. Bahkan masyarakat mulai mencuri beras dari orang lain yang masih mempunyainya demi kebutuhannya dan keluarganya. Tidak hanya sampai disitu, Jepang juga mendirikan pagar-pagar kayu yang sangat tinggi di daerah-daerah dekat persawahan sehingga keadaan semakin memburuk, masyarakat benar-benar mengalami kelaparan. Untuk mempertahankan hidupnya masyarakat hanya memakan buah nangka dan buah pepaya muda yang diperoleh dari kebun, kemudian direbus dan dimakan dengan nasi jika ada. Namun, apabila nasi tidak tersedia masyarakat menggantinya dengan sagu. Tidak jarang mereka makan hanya sekali dalam sehari. Terkadang mereka juga minum kopi yang disajikan dengan pisang rebus yang ditaburi kelapa diatasnya. Masyarakat di bawah penjajahan Jepang tidak mempunyai pakaian yang layak, mereka mengenakan karung beras (karung goni) yang dijadikan sebagai celana dan baju. Pakaian tersebut sangat tidak nyaman karena banyak kutu tinggal di dalamnya. Untuk berlindung dari pasukan Jepang yang sedang berperang dan terhindar dari tembakan atau peluru nyasar, rakyat menggali parit atau lubang pertahanan yang mampu menampung seluruh warga kampung. Parit ini memiliki kedalaman kira-kira setinggi badan orang dewasa. Bagian atas parit ini ditutup dengan papan, batang kelapa dan ditambahkan tanah diatasnya sehingga menjadi seperti gua. Ketika Jepang meninggalkan daerah Aceh mereka meninggalkan pakaian mereka, pakaian inilah yang kemudian diambil oleh warga kampung untuk dijadikan pakaian.

No comments:

Post a Comment