Saturday, 27 April 2013
Sulthan Iskandar Muda the Greatest King of Aceh
A. Pendahuluan
Dengan Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511), dan juga Pase (1522), banyaklah pedagang yang mencari pangkalan baru di Aceh. Kemudian timbullah suatu kerajaan di Aceh. Aceh mewakili pusat dunia Islam di Asia Tenggara. Bahkan Aceh merupakan pintu transmisi jalur perjalanan penyebaran agama Islam ke Seluruh wilayah Asia Tenggara. Karena itulah Aceh terkenal dengan sebutan Serambi Mekah.
Pada pertengahan abad ke XII.M Kerajaan Indra Purba (Lamuri) mendapat serangan dari dari kerajaan Seudu (Cantoli) yang dipimpin oleh “Puteri Nian Nio Liang Khi” (Putroe Neng), yang memerintah masa itu adalah Maharaja Indra Sakti. Dalam suasana peperangan inilah datang rombongan Syah Hudan (Syekh Abdullah Kan’an) yang terdiri dari 300 umat Islam yang datang bersama keluarganya, Termasuk Meurah Johan. Mereka datang dari Perlak. Pasukan Putroe Neng berhasil dikalahkan oleh mereka. Dan kemudian Maharaja Indra Sakti dan seluruh rakyat Indra Purba masuk Islam. Maharaja Indra Sakti menikahkan putrinya dengan Meurah Johan. Sehingga setelah raja wafat kedudukannya diambil alih oleh Meurah Jauhan, dan mendirikan negara dengan nama “Kerajaan Darussalam” pada hari Jum’at bulan Ramadhan, tahun 601.H/1205.M.
Ali Mughayat Syah mempunyai pikiran untuk menyatukan kerajaan-kerajaan kecil dibawah satu kekuasaan, menjadi besar dan disegani lawan. Oleh karenanya Dia meminta ayahnya menyerahkan jabatan pimpinan negara kepadanya. Setelah ia menjadi raja, ia berhasil mewujudkan keinginannya, dan juga berhasil mengusir Portugis dari Samudra Pasai. Pada hari Kamis, 20 Februari 1511 diproklamirkanlah berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam. Ali Mughayat Syah meninggal pada 12 Zulhijjah 936 (17 Agustus 1530) dan di makamkan di Kandang XII, Banda Aceh.
Kerajaan Aceh Darussalam mencapai zaman keemasannya (The Golden Year) pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Dibawah pemerintahannya Aceh menjadi sangat besar, kuat, aman, dan makmur, maju dan kaya.
Mengenai Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda sudah ditulis oleh beberapa ahli, diantaranya: Denys Lombard, dengan bukunya yang berjudul “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”, buku ini menceritakan secara mendetail mengenai tokoh Iskandar Muda dan keadaan Sosial, ekonomi dan politik pada masa itu. Ali Hasjmy, dengan bukunya yang berjudul “Iskandar Muda Meukuta Alam”, yang merupakan sebuah biografi Iskandar Muda. dan Rusdi Sufi dengan bukunya yang berjudul “Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda”, yang menuliskan mengenai tokoh Iskandar Muda, mencakup segala hal mengnainya, dan hal-hal yang dicapainya selama memerintah, dan lain sebagainya.
1. Rumusan Masalah
Siapakah Iskandar Muda?
Bagaimana cara Iskandar Muda mendapatkan tahta kerajaan?
Bagaimanakah sistem peradilan pada masa Iskandar Muda?
2. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui siapa itu tokoh Iskandar Muda, benarkah cerita-cerita rakyat mengenai tokoh ini, dan untuk mengungkapkan bagaimana kehidupan Iskandar Muda semasa sebelum menjadi Sultan, latar belakang dirinya, dan juga untuk mengungkapkan bagaimana peradilan pada masa itu.
3. Argumen
Selama ini banyak cerita-cerita yang beredar luas dalam masyarakat Aceh mengenai tokoh Iskandar Muda dan kebesarannya. Banyak cerita-cerita ini mulai tidak logis dan terlalu dibesar-besarkan oleh masyarkat. Bahkan mengenai asal-usul Iskandar Muda sering dilebih-lebihkan, seperti dalam Hikayat Aceh yang menguraikan sejarah bermitos sebelum Iskandar Muda. Pada awalnya dikatakan ada seorang pangeran dari Lamri yang bernama Munawar Syah, keturunan dari Iskandar Zulkarnain. Dari seorang putri “berdarah putih”, perikahyangan. Sultan Munawar Syah menurut Hikayat Aceh ini adalah moyangnya Sultan Iskandar Muda.
Bahkan nama Iskandar Muda sendiri bukanlah Iskandar Muda, tidak ada teks baik dari Aceh maupun dari Eropa yang menyatakan nama ini. Menurut kronik yang diterjemahkan oleh Duluaurier mengatakan bahwa sang pengeran diberi nama Iskandar Muda pada hari penobatannya. Tampaknya mengenai gelar Iskandar Muda ini merupakan pengaruh dari mitos Iskandar Zulkarnain. Seperti yang diungkapkan oleh Lombard dalam bukunya yang berjudul Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), ia mengatakan bahwa suatu hal yang pasti¬ ¬— dan yang sudah tentu lebih penting dari hanya sekedar gelar saja — ialah pengaruh mitos Iskandar Zulkarnain.
B. Aceh Sebelum Sultan Iskandar Muda
Kerajaan Aceh Darussalam berawal dari kerajaan Lamuri, dengan raja pertamanya adalah Sultan Alaiddin Jauhan Syah. Namun nama kerajaan saat itu adalah Kerajaan Darussalam. Aceh baru menjadi Kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah, dialah yang mempersatukan kerajaan Aceh di bawah satu negara. Ia mempersatukan negeri Pidir, daya, dan Samudra Pasai dibawah kekuasaannya.
Kerajaan Aceh Darussalam mengukuhkan kekuatannya pada masa Sultan Alaidin Ri’ayah Syah Al-Qahar, pada masanya ia berhasil mengusir Portugis yang mendarat di Ujung Sudeuen. Dia juga Melakukan ekspansi-ekspansi ke banyak Kerajaan, seperti Barus, Batak dan Aru. Untuk mejaga keutuhan kerajaan ini Dia menempatkan orang-orang kepercayaannya di daerah-daerah pengaruh kesultanan Aceh. Selain itu usaha yang berhasil dilakukannya adalah mengembangkan kekuatan angkatan perang, yaitu dengan meminta bantuan dari Turki Usmani Dalam menghadapi Portugis , mengembangkan perdagangan, yaitu dengan membuka 4 pelabuhan, yakni Pantai Cermin, Daya, Pidie dan Pasai. Dalam Bandar-bandar dan pekan-pekan didapati pedagang-pedagang asing dari pelbagai kebangsaan, seperti Arab Cina, dan Persi. Perdagangan Lada sangat maju, sehingga Sultan memperhebat penanaman Lada dengan membuka kebun-kebun Lada Selain itu, Sultan juga mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Islam yang ada di Timur Tengah, seperti Turki, dan Mesir. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya surat-surat kerajaan yang masih tersimpan di dokumen Turki, yang dapat ditemukan di rekaman Mühimme yang dikeluarkan oleh Divan-i Humayun .
Sultan Aceh yang cukup terkenal selanjutnya adalah Ali Ri’ayat Syah dengan gelar Saidil Mukammil, beliau adalah kakek dari Sultan Iskandar Muda. Pada masanya Belanda pertama kali datang ke Aceh yang dipimpin oleh de Houtman bersaudara. Pada kedatangan yang pertama ini mereka disambut dengan baik dengan Sultan, namun, Karena adanya kesalah pahaman terjadilah pertempuran yang menewaskan Cornelis de Houtman sedangkan saudaranya ditahan bersama dengan sisa-sisa awak kapalnya. Namun, Pada tahun 1602 Belanda kembali datang ke Aceh untuk berdamai, dengan membawa sepucuk Surat dari Prints Maurits. Hal ini disambut baik oleh pihak Aceh. Sultan mengirimkan 3 orang utusan ke Belanda
Selanjutnya kekuasaan jatuh ke tangan Sultan Ali Ri’ayat Syah yang merebut kekuasaan dari ayahnya sendiri, akibatnya terjadilah peperangan antara ia dan Raja Hussain Syah. Pertempuran ini menewaskan Raja Hussain Syah, dan Sultan Iskandar Muda yang membantu Raja Hussain ditawan.
Keadaan Aceh sebelum naiknya Iskandar tidak terlalu baik, kerajaan Aceh pada masa sebelumnya merupakan kancah perampokan dan pembunuhan dan ketidak aturan yang sangat menyedihkan. Oleh karenanya pemerintahan berjalan dengan tidak memuaskan rakyat.
C. Tokoh Iskandar Muda
Dari pihak leluhur ibu, Iskandar keturunan Raja Darul Kamal, dan dari pihak leluhur ayah keturunan keluarga Raja Makota Alam. Aceh Darussalam sendiri adalah gabungan dari kedua kerajaan ini, sehingga Iskandar Muda berhak sepenuhnya menuntut tahta. Ayah Iskandar Muda bernama Mansyur Syah bin Abdul Djalil bin Al-Kahar. Dengan demikian, beliau termasuk dalam pertalian keluarga dengan sultan Aceh sebelumnya. Dari pihak ibunya yaitu Puteri Indra Bangsa binti Sultan ‘Alaiddin Ri’ayat Syah Saidi al-Mukammil. Menurut Denys Lombard, Iskandar Muda lahir sekitar tahun 1583. Pernyataan ini berdasarkan pada keterangan dari Hikayat Aceh mengenai Perkawinan antara Mansyur Syah dan istrinya. Dan juga berdasarkan keterangan dari Best yang menyatakan pada tahun 1613 menyatakan bahwa umurnya 32 tahun. Sedangkan menurut A. Hasjmy, Iskandar Muda Lahir pada malam menjelang subuh tanggal 22 Rajab 1001 H/1593 M. Ketika lahir awalnya Iskandar Muda dinamakan Raja Sulaiman. Menurut Hikayat Aceh setelah usia tiga tahun, kakeknya memberi nama kepada cucunya dengan nama Abangta Raja Munawar Syah, kemudian Tun Pangkat Darma Wangsa, kemudian dalam usia yang masih muda bermacam nama sesuai dengan kehebatannya, seperti Pancagah dan lain-lain. Sedangkan mengenai nama Iskandar Muda menurut kronik yang diterjemahkan oleh Duluaurier mengatakan bahwa sang pengeran diberi nama Iskandar Muda pada hari penobatannya.
Iskandar Muda telah menjadi piatu semenjak usianya dua tahun. Ayahnya wafat dalam pertempuran di Laut Aru antara Armada Portugis dengan Armada Aceh. Didalam pergaulan taman kanak-kanak, ia selalu bbermain bersama sesarnanya yang diperhatlikan diatas balairong dan ditempat-tempat perjamuan. Selelah selesai mengaji mereka suka mengadakan satu permainan yang dinamakan "MEURADJA RADJA" (beraja-raja). Naskah Hikayat Aceh mengkisahkan tentang pertumbuhannya Sultan Iskandar Muda. Disebutkan bahwa ketika umurnya 4 tahun, kakeknya yang menyayanginya secara khusus, memberinya "gajah emas dan kuda untuk permainannya". Selain itu juga sebuah mainan otomatis berupa dua ekor domba yang dapat berlaga, lalu gasing dan kelereng dari emas atau dari suasa. Ketika ia berumur 5 tahun, kakeknya memberikan seekor anak gajah bernama Indra Jaya sebagai teman bermain. Pada umur 6 tahun, anak itu sudah berburu gajah Har, pada umur 8 tahun ia suka bermain perahu di sungai mengatur perang. Peperangan dengan meriam-meriaman kecil. Pada umur 9 tahun ia membagi perang-perangan sambil membangun benteng-benteng pertanahan kecil, pada umur 12 tahun ia berburu kerbau Har waktu mencapai umur 13 tahun ia mulai bekerja dengan bimbingan Fakih Raja Indra. Si kakek menyuruh membuatkan 30 batu tulis dari logam mulai bagi cucunya dan teman-temannya. Ia juga belajar membaca Al-Qur'an. Lalu seorang guru pedang ditugaskan mengajarkan kepandaian main pedang.
Mengenai sifat Sultan Iskandar Muda banyak berita yang bertentangan satu sama lain. Misalnya sumber-sumber Aceh seperti Bustanul Salatin, memberikan pujian-pujian sifat Sultan ini. Antara lain menyebutkan: "Ialah yang Johan pahlawan lagi perkasa, dan kebijaksanan pada segala barang perkataannya, dan pada segala kelakuannya, dan telah elok sikapnya". Sebaliknya sumber-sumber Barat seperti laporan perjalanan Augustin de Beaulieu yang datang ke Aceh pada tahun 1621 menyebutkan sifat-sifat kekejaman Sultan Iskandar Muda.
D. Penobatan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Sultan Muda merebut kekuasaan dari ayahnya, yang mengakibatkan ia berperang dengan Raja Hussain. Raja Hussain wafat dalam peperangan ini dan Iskandar ditawan. Dalam masa-masa ini lagi-lagi Portugis datang menyerang Aceh pada tahun 1606. Pasukan mereka dipimpin oleh Alfonso de Castro Ketika Iskandar mendengar adanya penyerangan itu, maka ia mohon kepada Sultan agar dia diperkenankan ikut berperang melawan Portugis. Dan permohonan ini dikabulkan oleh Sultan Aceh. Kemudian dia dan tentara Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis. Tentara Aceh menang dan berhasil mengusir Portugis dari Aceh. Malam itu juga si Paman dinyatakan meninggal, dan pahlawan hari itu dinyatakan sebagai Sultan menurut Bustan us-Salatin Iskandar dinyatakan sebagai Sultan pada 6 Zulhijah 1015 H (awal April 1607).
Sultan Iskandar Muda mangkat dengan tiba-tiba pada tanggal 27 Desember 1636. Mungkin kematiannya ini disebabkan karena kena racun yang diberikan oleh para wanita Makasar kepadanya atas perintah orang-orang Portugis. Hal ini dapat diketahui dari laporan Gubernur Jendral Kompeni Belanda di Batavia, yakni Antonio van Diemen. Pada tanggal 9 Desember 1636.
E. Peradilan
Mengikuti Bustan us-Salatin Iskandar Muda telah melaksanakan undang-undang Islam di Aceh, seperti melaksanakan hukuman hudud bagi pencuri dan penzina. Juga dikatakan dia telah memerintahkan rakyat untuk mengerjakan dengan taan rukun Islam, terutama dalam bidang sembahyang dan puasa. Dia juga mengharamkan meminum arak dan bermain judi.
Undang-undang yang digunakan pada masa ini dikenal dengan nama Qanun Meukuta Alam al-Asyi yang bersumberkan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ Ulama, dan Qiyas. Qanun ini menetapkan empat jenis hukum, yaitu: a. Kekuasaan Hukum, yang dipegang oleh Kadil Malikul Adil. b. kekuasaan Adat, yang dipehgang oleh Sultan Malikul Adil. c. kekuasaan Qanun, yang dipegang oleh Majlis Mahkamah Rakyat. d. kekuasaan Reusam, yang dipegang oleh penguasa tunggal, yaitu Sultan sebagai penguasa tertinggi waktu negara dalam keadaan perang.
Dalam Qanun Meukuta Alam ini juga disebutkan bahwa dalam memerintah kerajaan, Sultan tunduk kepada Qanun. Sedangkan kadli Malikul Adil, Mufti Empat Besar, Keurukon Katibul Muluk dan Perdana Menteri serta sekalian Menteri Kerajaan Aceh, tunduk kepada Sultan dan juga Qanun. Menurut Augustin de Bealieu pada masa ini ada empat macam lembaga pengadilan di Aceh, yitu perdata, pidana, agama, dan niaga. Pengkhususan yang begitu konkret ini menunjukkan betapa pada masa itu Aceh sudah sangat maju dalam hal peradaban.
Pengadilan perdata diadakan setiap pagi kecuali pada hari Jum'at di sebuah balai (Bali) besar dekat mesjid utama. Yang mengetuainya salah seorang dari orang kaya yang paling berada. Kegiatan pengadilan perdata ini misalnya dalam hal perkawinan bagaimana pengadilan telah bertindak dengan memberikan surat pengakuan.
Pengadilan pidana terdapat dibalai lainnya ke arah gerbang istana. Yang menjadi ketuanya adalah sejumlah orang kaya paling penting. Mereka bergantian dalam memimpin jalannya peradilan. Pengadilan ini menangani persengketaan yang muncul di kota seperti pembunuhan atau pencurian. Beaulieu mengungkapkan kekagumannya mengenai ketika seorang penjahat ditangkap karena berkelakuan buruk, bahkan oleh gadis muda atau anak kecil sekalipun, ia tidak berani melarikan diri melainkan tetap diam seperti patung. Mengenai undang-undang yang diterapkan tidak diketahui apa-apa, tetapi cara-cara pemeriksaan dan hukuman yang dijatuhkan cukup keras. "Ujian Tuhan".
Hukuman yang paling lazim ialah pukulan rotan yang "bisa dihindari dengan uang mas", artinya dengan membayar denda dan dengan menyogok algojo. Jika kesalahannya lebih besar, maka orang yang dihukum akan kehilangan sebagian dari tubuhnya: mata dicungkil, hidung, telinga bahkan anggota badan dipancung atau dipenggal. Dalam hal yang belakangan ini, yang dipenggal kaki atau tangan, lalu buntungnya segera dicelupkan ke dalam air dingin dan dibalut dengan "kantung kulit" yang menghentikan perdarahan. Ketika Bealieu sedang menunggu chappe (cap) dib alai ia melihat seorang laki-laki yang terperkara akibat mengintip istri tetangganya mandi, ia dikenakan hukuman 30 kali cambukan. Tetapi si penjahat bernegoisasi dengan si algojo, ia menawarkan 20 mas dan langsung dibayar ditempat sehingga ia hanya menerima 29 kali cambukan rotan dalam keadaan tetap berpakaian.
Jika kejahatan dihukum mati, maka si terhukum disulakan, ini berlaku untuk orang kecil, karena orang terkemuka menjalani hukuman mati dengan cara yang lebih "sopan". Mereka ditempatkan di ladang luas yang tertutup, diberi semacam sabit besar sebagai senjata dan dengan demikian harus membela diri seorang diri melawan segerombolan penyerang — yang pada umumnya terdiri atas sanak saudara keluarga yang dirugikan (terutama dalam hal zina). Maka mereka masih mempunyai harapan.
Dicatat bahwa keempat "merinyu atau sersan mayor" yang tugasnya menjaga ketertiban di keempat daerah kota masing-masing tidak selalu membawa si tertuduh ke pengadilan, tetapi dapat menghukum penjahat, pelaku pencurian kecil-kecilan yang tertangkap basah hingga diikat pada tiang hukuman dan dikenakan denda.
Pengadilan agama dipimpin oleh Kadi. Ia memiliki kekuasaan atas mereka yang dianggap melanggar hukum agama. Mungkin kekuasaan pengadilan itu diperkuat oleh Sultan yang ingin agar dipatuhi aturan-aturan akhlak dan perilaku keagamaan yang baik, yang menurut Bustan us-Salatin ditegakkan olehnya.
Pengadilan niaga berada di dekat pelabuhan, di “Alfandegue” ada "balai tempat diselesaikan segala perselisihan antara pedagang, baik yang asing maupun yang pribumi". Pengadilan ini diketuai "orang kaya Laksamana yang boleh dianggap sama dengan wali kota". Sejumlah besar sida-sida sibuk melaksanakan perintahnya.
Kesimpulan
Iskandar Muda adalah anak dari Mansyur Syah Aceh sebelumnya. Dari pihak ibunya yaitu Puteri Indra Bangsa. Ia adalah cucu dari Sultan Alaiddin Riayat Syah. Walaupun ia telah menjadi Yatim sejak usia dua tahun ia hidup bahagia dan mendapatkan keahlian yang cukup memadai bagi seorang Sultan dikarenakan ia merupakan cucu kesayangan Sultan Saydil al-Mukamil.
Ketika berumur sekitar 24 tahun ia menjadi Sultan Aceh, dan mengantarkan Aceh ke puncak kejayaannya. Ia membuat Aceh menjadi sangat aman dan damai dengan diterapkannya Qanun meukuta Alam. Dari undang-undang yang dibuatnya dan lembaga peradilan yang ada pada masa itu telah menunjukkan kepada kita secara garis besar bagaimana majunya Aceh. Dan betapa hak setiap orang harus dihargai semasa itu. Bahkan orang-orang barat terheran-heran bagaimana setiap orang mematuhi hukum dan tidak mencoba melarikan diri sewaktu ditangkap.
Yang perlu kita ingat adalah bahwa memang benar Aceh pernah mencapai zaman keemasan, bukan hanya sekedar cerita rakyat saja. Dan tokoh Iskandar Muda merupakan raja yang sanggat cerdas sehingga mampu mengantarkan Aceh ke zaman keemasannya.
DAFTAR REFERENSI
Amin, Samsul Munir . 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Chaidar, Al. 1999. Gerakan Aceh Merdeka Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam. Jawa Barat: Madani Press.
Djamil, M. Junus. 1968. Tawarich Radja-Radja Keradjaan Atjeh. Banda Aceh: Adjdam-I/Iskandarmuda.
Halimi, Ahmad Jelani. 2008. Sejarah dan Tamaddun Bangsa Melayu. Kuala Lumpur: Unipress Printer SDN BHD.
Hasjmy, Ali . 1975. Iskandar Muda Meukuta Alam. Jakarta: Bulan Bintang.
Kurdi, Muliadi. 2009. Aceh di Mata Sejarawan. Banda Aceh: LKAS.
Lombard, Denys. 2008. Kerajaan Aceh Zaman Sulthan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Muljana,Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKIS.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Reid, Anthony dkk. 2011. Memetakan Masa Lalu Aceh. Bali: Pustaka Larasan.
Reid, Anthony. 2010. Sumatra Tempo Doeloe, dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Jakarta: Komunitas Bambu.
Said, Mohammad. 2009. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Harian Waspada Medan.
Soekomo, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Kansius.
Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2006. Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh. NAD: Badan Perpustakaan Nangroe Aceh Darussalam.
Sufi, Rusdi dkk. 2008. Aceh Tanah Rencong. NAD: Pemerintah Nangroe Aceh Darussalam.
Sufi, Rusdi. 1995. Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda. Jakarta: CV Dwi Jaya Karya.
Zainuddin, H.M. 1957. Singa Atjeh. Medan: Pustaka Iskandar Muda.
Zainuddin, H.M. 1961. Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda.
Labels:
History
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment