Sunday, 28 April 2013

Hegel

BAB I
PENDAHULUAN
Biografi Hegel Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) lahir di Stuttgart, Jerman, pada tahun 1770 dan meninggal di Berlin pada tahun 1831. Selama turun-temurun keluarganya menjadi pegawai negeri. Ayah Hegel sendiri bekerja di kantor pajak Württemberg. Hegel memiliki aksen Swabia yang kental dan terus ia pertahankan sampai akhir hiupnya, sama halnya dengan keyakinannya bahwa kerendahan diri adalah salah satu cirri utama dari kebudayaan yang sejati. Ia belajar Filsafat dan teologi di Tubingen. Salah satu temannya sesama mahasiswa di universitas Tübingen adalah Schelling. Sementara Schelling sudah menunjukkan kecemerlangan intelektual sejak usia mudanya, maka Hegel adalah orang yang lebih "Lambat panas". Filsafatnya baru muncul setengah generasi setelah Filsafat Schelling dan tampak sangat terpengaruh olehnya. Hegel pernah menjadi guru privat, editor surat kabar, kepala sekolah, dan akhirnya professor filsafat pertama di Universitas Heidelberg dan di Berlin. Ia sangat produktif, dan sampai menjelang wafatnya ia masih menjadi tokoh intelektual yang dominan di Jerman. Di antara karya-karyanya yang sangat berpengaruh adalah Fenomenologi Roh (Phenomenology of Spirit, 1806), Ilmu Logika (1812), Filsafat Sejarah (1818), dan Filsafat Hak (1821). Buku Hegel yang pertama kali diterbitkan adalah tentang perbedaan antara filsafat Fichte dan Filsafat Schelling. Filsafat Hegel sendiri dapat dipandang sebagai gabungan dari kedua filsafat itu. Hegel memandang realitas sebagai suatu kesatuan organik, dan realita merupakan sesuatu yang tidak berada dalam keadaan stabil, melainkan dalam suatu proses perkembangan yang terus berlangsung. BAB II PEMBAHASAN A. Fenomenologi Roh Bagi Hegel, filsafat sebagai usaha rasional manusia memahami realitas merupakan sebuah fenomenologi roh. Maksud Hegel, filsafat adalah pembahasan atau ajaran rasional (logos) mengenai penampakan-penampakan (phainomena) roh di dalam peristiwa-peristiwa dunia. Ada tiga pengertian roh (Geist) yang dimaksudkan Hegel kelau ia melihat filsafatnya sebagai fenomenologi:
(1) Roh subjektif (der subjective Geist ) adalah prinsip kesadaran atau jiwa dari masing-masing individu/subjek. Dengan demikian, prinsip ini terkait secara signifikan dengan ciri, corak dan kekhasan masing-masing subjek dalam memahami realitas dan mengkonstruksikannya.
(2) Roh objektif (der objective Geist ) adalah "roh umum" (Gemeingeist) yang memang menggerakkan dan mengatasi kesadaran masing-masing individu—maka bersifat supra-individual—namun nyatanya masih berbagi nasib dengan hidup dan sejarah manusia dalam kesadarannya. Dengan demikian, roh ini pun masih terikat ruang – waktu, dan karenanya mengalami dinamika perubahan. Menerut Hegel, roh ini mengejawantahkan drinya dalam tiga tatanan : hukum, negara, dan hidup para bangsa (sejarah dunia).
(3) Roh Absolut (der absolute Geist) adalah Roh Murni yang mempengaruhi baik kesadaran individu masing-masing individu (roh subjektif) maupun kesadaran bangsa manusia (roh objektif), tanpa sendiri dipengaruhi oleh mereka. Roh ini bergerak penuh kedaulatan di dalam semua, mengembangkan diri di dalam semua (sebagai agama, seni, dan filsafat) dan mengatasi semua. Dengan demikian, dilihat secara menyeluruh, fenomenologi roh rancangan Hegel adalah filsafat sejarah yang bersifat teologis, atau: teologi sejarah yang bersifat filosofis. Ia merupakan perangkat filosofis untuk memahami dan memaknai segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah dunia ini. Dari sudut pandangan filsafat Hegel, gerak zaman adalah proses pogresif dari semakin menjadi sadarnya Roh Absolut akan dirinya sendiri. Manusia mengambil bagian secara aktif dalam gelombang dahsyat gerak zaman itu.

B. Pemikiran Hegel Tentang Sejarah
Hegel menerima idealisme Kant dan memandang realitas sebagai produk dari kegiatan pikiran rasional. Namun, pikiran ini sangat berbeda dari ego Cartesius para rasionalis (termasuk Kant). Bagi Hegel pikiran adalah semacam roh universal (Geist) yang bergerak melewati ruang dan waktu. Akal budi dianggap sebagai prinsip dasar yang menggerakkan semangat ini disepanjang sejarah (tema yang sangat bernuansa Heraklitus). Secara kasar, kontradiksi di pusat Geist adalah "mesin" rasional dari perubahan sejarah. Berdasarkan metode pendekatan hegel terhadap sejarah, Hegel membagi sejarah menjadi tiga macam, yaitu; Sejarah asli, Sejarah reflektif dan Filsafat sejarah. Selain itu bagi Hegel, alam merupakan titik tolak pertama bagi manusia untuk dapat memperoleh kebebasan di dalam dirinya sendiri. Dengan begitu alam merupakan teater sejarah bagi manusia. Teater sejarah yang sejati adalah wilayah yang beriklim sedang; atau belahan utaranya. Bumi di belahan ini menampilkan dirinya dalam bentuk benua. Kebalikan dari itu, di sebelah selatan, bumi membagi dirinya, dan berakhir menjadi banyak titik. Kekhasan ini juga mnampakkan diri dalam berbagai hasil alam. Perbedaan geografis spesifik harus dipandang sebagai perbedaan yang sangat penting dan rasional, berbeda dengan berbagai keadaan yang hanya bersifat kebetulan. Perbedaan yang khas ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: dataran tinggi yang kering dengan stepa dan dataran yang luas; daratan yang berlembah dengan tanah peralihan yang diresapi dan dialiri oleh banyak sungai besar; dan kawasan pantai yang berhubungan langsung dengan laut.

C. Evolusi Sejarah Menurut Hegel, sejarah dunia bermula dengan tujuan umumnya, yaitu perealisasian ide. Ia berjalan dari Timur ke Barat. Asia pangkal sejarah dan Eropa adalah ujungnya. Evolusi sejarah dunia melalui empat tahap; yaitu

a) Tahap pertama adalah Dunia Timur tahap ini merupakan masa kanak-kanak sejarah. Kesadaran dari Timur merupakan kesadaran yang tidak terefleksikan. Kehendak subjektif timur menjalin hubungan dengan bentuk-bentuk keyakinan, kepercayaan, dan kepatuhan. Dalam kehidupan politik Timur, terdapat kebebasan rasional yang disadari, akan tetapi pengembangan dirinya sendiri belum maju kearah kebebasan subyektif. Kelebihan dari konsepsi Timur terletak pada konsep satu individu sebagai substansial yang memiliki semuanya, sehingga tidak ada individu lain, di luar satu individu itu, yang memiliki satu eksistensi terpisah dan dapat merefleksikan dirinya dalam kebebasan subjektifnya. Semua kekayaan imajinasi dan alam menyesuaikan diri dengan satu eksistensi yang dominan tersebut. Dalam kasus seperti ini, kebebasan subyektif menjadi berfusi. Para individu tidak mencari martabat di dalam dirinya, melainkan di dalam obyek yang mutlak itu.

b) Tahap kedua adalah Dunia Yunani Dunia Yunani merupakan periode masa remaja. Di sini kita menemukan individualitas membentuk diri orang-orang Yunani. Ini adalah prinsip pokok tahap kedua dalam sejarah manusia. Moralitas mereka seperti halnya di Asia merupakan sebuah prinsip, akan tetapi dipaksakan kepada individualitas, akibatnya kebebasan merujuk kepada kemauan bebas dari para individu. Tahap ini juga merupakan tahap kesatuan antara moral dengan kehendak subyektif.

c) Tahap yang ketiga adalah Dunia Romawi Ini merupakan kawasan Universalitas Abstrak. Dimana tujuan sosial menyerap semua tujuan individu. Romawi mempresentasikan kerja keras dan kejantanan sejarah. Tindakan mereka tidak sesuai dengan tingkat kuasanya seorang raja yang lalim sebagaimana terjadi di Timur; dan tidak juga taat kepada tingkahnya sendiri seperti yang terjadi di Yunani. Ia sudah bekerja untuk suatu tujuan yang umum. Di sana kesadaran akan tujuan pribadinya diletakkan hanya dalam tujuan umum tersebut. Dengan demikian negara mulai memiliki eksistensi abstrak, dan mengembangkan dirinya untuk suatu tujuan tertentu, guna mencapai tujuan para anggotanya yang ambil bagian di dalamnya, akan tetapi tujuan ini belum utuh dan kongkrit (menggunakan seluruh ada mereka). Di sana para individu yang bebas dikorbankan bagi tuntutan tujuan nasional yang keras, untuk itu mereka harus rela menyerahkan diri ke dalam kebaktian.

d) Tahap keempat Dunia Jermania Disebut dunia Jeremania karena prinsip yang mendasari tahap keempat ini, mencapai realitas konkritnya hanya dalam sejarah bangsa Jerman. Pada tahap ini tercapai kerajaan roh dalam arti yang penuh. Tahap ini bermula dari rekonsiliasi dalam agama Kristen. Tidak ada lagi antithesis antara Gereja dan Negara. Hal ini bukan karena penghapusan yang sekuler, melainkan yang spiritual bergabung kembali dengan yang sekuler. Yang spiritual mengembangkan yang sekuler menjadi sebuah eksistensi organik yang independen. Keadaan ini juga tidak membuat negara inferior terhadap gereja. Negara tidak lagi berkedudukan lebih rendah dari gereja, sementara gereja tidaklah memaksakan adanya hak-hak istimewa baginya. Di sisi lain, negara tidak lagi asing dengan unsure spiritual. Dalam tahap seperti inilah, kebebasan menemukan sarana untuk merealisasikan idealnya. Inilah hasil akhir yang ingin dan telah dicapai oleh sejarah.

D. Organisme Sejarah
Hegel memvisualkan negara sebagai suatu organisme yang memiliki kehendak umum yang kolektif. Negara merupakan entitas yang sadar dan berpikir, yaitu dengan akal atau rohnya. Roh ini sekaligus juga merupakan roh bangsa kolektif yang membentuk suatu negara. Dengan demikian, kehidupan bangsa sama dengan kehidupan individu. Mempunyai alur hidup yang harus dilalui oleh suatu bangsa atau negara, sebagaimana alur hidup yang dilalui oleh individu. Individu akan musnah, demikan juga dengan bangsa. Setalah musnahnya suatu bangsa maka akan lahir bangsa atau negara baru, akan tetapi tidak memulai kehidupan yang sama sekali baru. Bangsa atau negara baru ini memulai kehidupannya di atas puing-puing serta pencapaian-pencapaian yang telah dicapai oleh sejarah.

E. Dialektika
Menurut Hegel, gerakan roh dalam sejarah diatur oleh proses dialektika. Maksudnya, kontradiksi dalam roh universal bisa dimengerti sebagai dua sisi dari suatu argument (tesis dan antitesis) yang disatukan. Ia berpikir, proses ini berlanjut sampai semua kontradiksi dari roh itu telah terpecahkan dengan sendirinya. Hegel berpendapat bahwa pada akhir sejarah, roh telah mendapatkan pengetahuan yang lengkap tentang dirinya.

F. Kekuatan dan Kelemahan
Dalam cara yang paling sederhana, filsafat Hegel menyatakan bahwa sejarah adalah proses sosial yang disebabkan oleh pertentangan antara sistem-sistem ide yang saling-bersaing. Pertentangan ini digambarkan seperti perjuangan antara tuan dan budak. Perjuangan ini hanya bisa diselesaikan jika si tuan membebaskan budaknya. Ide-ide berjuang untuk mendapatkan suatu pengakuan. Saat ide-ide yang "lemah" diakui valid dan signifikan oleh yang "kuat", akan terjadi perubahan pad aide dominan yang lebih kuat. Pada titik ini, ide baru akan muncul untuk menggantikan keduanya. Hegel menyebut proses perubahan sejarah sebagai proses dialektis. Proses ini menghasilkan bentuk baru dan lebih baik dari pengetahuan, setelah melalui proses tesi, antithesis, dan akhirnya suatu penyatuan yang baru.

G. Akhir dari Sejarah
Menurut Hegel, kapankah sejarah akan berakhir? Mungkin pada saat tidak ada lagi pertentangan antara ide-ide yang bersaing. Menurutnya hal ini terjadi pada tahun 1806 ketika Napoleon mengalahkan tentara Prussia pada perang Jena. Menurut Hegel, perang ini menggambarkan kejayaan akhir dari ide-ide yang memotivasi revolusi Prancis, yaitu ide-ide tentang kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Ide-ide ini sangat sukar dipercaya dan terlihat konyol. Namun, seorang filsuf kontemporer Amerika, Francis Fukuyama, juga mengatakan bahwa sejarah sudah berakhir dengan dibubarkannya Uni Soviet. Kegagalan sistem utama oposisi terhadap kapitalisme modern menandai kejayaan akhir dari ide liberal tentang hak-hak individu yang tidak dapat dicabut.
Menurut Fukuyama, kita tinggal di dunia "pasca sejarah" di mana tidak banyak yang terjadi, dan masalah sosial yang paling menekan adalah kebosanan. Namun, untungnya sebagain besar dari kita masih penasaran tentang masa depan sejarah. Pada akhir masa perang dingin, seperti banyak filsuf lain, Fukuyama menjadi terlalu terbawa secara Filosofis. H. Panteisme Sejarah Sepanjang pembicaraan Hegel mengenai sejarah, baik dalam sistem idealismenya secara umum maupun secara lebih khusus, kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud oleh Hegel dengan Roh, Rasio atau Akal itu sesungguhnya adalah Tuhan. dalam berbagai tempat Hegel menyatakan hal tersebut baik secara eksplisit maupun implisit. Alam dan sejarah oleh Hegel dipahami sebagai kehadiran Tuhan. Dalam teologi atau mistisme hal ini dikenal dengan nama Pantheisme. I. Analisis 1. Kausalitas Sejarah Menurut Hegel sejarah merupakan jalan keniscayaan rasional Ruh-Dunia-Ruh yang hakikatnya senantiasa satu dan sama, namun yang mengungkapkan hakikatnya yang satu ini dalam fenomena keberadaan dunia. Tingkat kemajuan sejarah suatu bangsa ditentukan juga oleh taraf perwujudan diri roh pada bangsa itu. Taraf perwujudan diri roh pada suatu bangsa ditentukan oleh tingkat kesiapan bangsa itu menerima manifestasi roh pada taraf yang bagaimana. Seterusnya, tingkat kesiapan suatu bangsa menerima taraf aktualisasi roh pada tahap mana itu ditentukan oleh taraf kesadarannya. Sementara, taraf kesadaran suatu bangsa ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu alam, zaman dan wilayah, serta agama dan budaya, dengan demikian dalam sistem Hegel jelas ada kausa-kausa yang menjelaskan mengapa sejarah berlaku demikian dan hanya demikian. 2. Kebebasan Sejarah Dalam paradigma Hegel, kebebasan terkait kesadaran dan tujuan, bukan kehendak dan tindakan proaktif. Kebebasan lebih menyangkut aspek kognitif. "…. Hakikat esensial kebebasan — yang di dalamnya meliputi keniscayaan mutlak— …. Kesadaran tentang dirinya… menyadari eksistensinya. Hukum adalah objektifitas Ruh, kemauan dalam bentuknya yang sejati. Hanya kehendak yang mematuhi hukumlah yang bebas… manakala kehendak subjektif manusia tunduk kepada hukum – kontradiksi antara kebebasan dengan kebutuhan lenyap. Kebebasan ridak lain merupakan pengenalan dan penggunaan berbagai objek substansial universal seperti Hak dan Hukum, dan hasil dari realitas yang sesuai dengannya – negara." Hegel membagi kebebasan menjadi kebebasan subjektif dan kebebasan objektif. Kebebasan subjektif adalah kebebasan yang terkandung dalam diri setiap individu, sementara kebebasan objektif adalah kebebasan yang terkandung dalam kolektivitas sosial suatu bangsa.

By. Hanifa Annisa

Daftar Pustaka

Ismail, Sanusi. 2012. Filsafat Sejarah: wacana tentang kausalitas dan kebebasan dalam kehidupan kolektif. Banda Aceh: Arranirypress. Magee, Bryan. 2008. The Story of Philosophy: Kisah Tentang Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Strathern, Paul. 2001. 90 Menit Bersama Hegel. Jakarta: Erlangga. Suseno, Franz Magnis-. 2008. Sesudah Filsafat: Esai-Esai untuk Franz Magnis-Suseno. Yogyakarta: Kanisius. Turnbull, Nil. 2005. Bengkel Ilmu: Filsafat. Jakarta: Erlangga.

No comments:

Post a Comment