Thursday, 20 January 2011

Dampak negatif Globalisasi terhadap masyarakat Aceh

1. Pengertian Globalisasi
Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:
• Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
• Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
• Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
• Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
• Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.
2. Dampak Globalisasi Terhadap Masyarakat Aceh
Kebudayaan Aceh dari zaman dahulu sangat erat kaitannya dengan adat dan kebudayaan Islam. Seperti kita ketahui pada zaman kerajaan Aceh dulu dimana terdapat banyak upacara-upacara agama di kerajaan, seperti:
a. Perayaan hari raya puasa; Pemerian arak-arakan raja dari istana sampai dari istana sampai masjid Bait ur-Rahman. Pedang raja diarak di hadapan sultan, begitu pula pingan sirih (puan) dan kantong sirih. Setelah bersembahyang di belakang tirai (kelambu) di tempat yang dinamakan rajapaksi, sultan pulang naik gajah upacara
b. Adat majelis hadirat Syah Alam berangkat sembahyang hari raya haji ke masjid Bait ur-Rahman; arak-arakan sultan pergi ke mesjid untuk bersembahyang pada hari ke-10 bulan Zulhijjah.
c. Majelis Syah Alam berangkat sembahyang ke masjid jum’at, iring-iringan pada saat sultan pergi ke masjid setiap hari jum’at.
Dari contoh-contoh diatas dapat kita ketahui bahwa sejak zaman dahulu kebudayaan Aceh sudah sangat lekat dengan Islam. Namun, semenjak Aceh dimasuki globalisasi banyak perubahan yang terjadi didalam masyarakat Aceh, terutama pada remaja-remaja Aceh.
Para remaja di Aceh, terutama di Banda Aceh pada saat ini banyak membentuk komunitas-komunitas yang kebarat-baratan, seperti Geng emo, Geng Motor, dan Anak Punk. Mereka hanya menghabiskan waktu mereka untuk hal-hal tidak berguna, seperti tauran antar geng. Mereka mengganggu kenyamanan dan keamanan masyarakat.
Dampak negative dari globalisasi ini juga dapat kita lihat dari moral masyarakat Aceh yang semakin merosot akibat pengaruh budaya luar. Remaja-remaja Aceh pada saat ini suka menggunakan pakaian-pakaian ketat dan terbuka tanpa merasa malu, bahkan mereka bangga mengenakan pakaian seperti itu. Banyak remaja yang tidak lagi hormat kepada orang tua. Para remaja Aceh banyak yang berpelukan dijalanan dengan pasangan mereka tanpa adanya rasa malu. Ini semua terjadi akibat apa yang selama ini mereka lihat di televisi. Bahkan beberapa orang tua bangga apabila anak gadis mereka sering berpergian bersama lelaki. Hal-hal yang seperti ini dianggap tabu sebelumnya. Namun, karena mereka sering melihat hal-hal seperti ini di media elektronik, lama-kelamaan mereka mengganggap hal seperti ini biasa saja.
Globalisasi telah menjadi virus bagi budaya dan moral bangsa Aceh yang sebelumnya sangat baik. Virus ini semakin lama semakin susah untuk dikontrol. Perubahan-perubahan pada kebiasaan masyarakat aceh semakin terasa, masyarakat Aceh yang sebelumnya sangat kekeluargaan menjadi masyarakat individualis dan tidak memperdulikan orang sekitar.
Kemerosotan moral dan kebudayaan akibat globalisasi mulai merebak di Aceh semenjak tahun 2000-an, namun semakin buruk pasca tsunami, kemungkinan besar ini karena banyaknya NGO yang masuk ke Aceh dan menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka. Bahkan angka perceraian meningkat sejak masuknya LSM-LSM yang mengatakan mereka adalah pejuang kesetaraan gender. Hal-hal sepele dalam keluarga yang tadinya dapat diselesaikan secara baik-baik saat ini bisa menjadi permasalahan besar dan berakhir pada perceraian.
Dapat kita lihat pada angka perceraian di Calang, Aceh Jaya sejak tahun 2009 hingga 2010 semakin meningkat, dalam kasus gugat cerai itu justru didominasi oleh istri. Dan rata-rata penyebab gugatan itu karena faktor ekonomi. Disebutkan, tahun 2009 Mahkamah Syariah Calang menangani 78 kasus. Dari jumlah tersebut 4 kasus yang diajukan oleh suami, dan cerai gugat dari wanita berjumlah 30 kasus. Sementara pada tahun 2010 ditangani 134 kasus, sedangkan yang putus dalam perkara tersebut cerai talak dari suami berjumlah empat kasus dan cerai gugat yang datang dari wanita berjumlah 17 kasus.
Kemerosotan nilai-nilai adat-istiadat, moral, dan kebudayaan semakin dapat kita rasakan didalam masyarakat Aceh saat ini. Dalam rapat paripurna pada pelatihan Program Fasilitator Pengembangan Masyarakat (PFPM) yang dilaksanakan Komunitas Peradaban Aceh di Lhokseumawe, yang ditutup Minggu sore. Globalisasi ternyata telah meninggalkan permasalahan krisis identitas di Aceh,” kata seorang peserta pelatihan, Nazar, Senin (3/12/2007).
Menurut Nazar, yang juga aktivis Komite Peralihan Aceh (KPA), “kurikulum pengembangan masyarakat ke depan di Aceh harus berbasiskan lokal dengan juga memasukkan tema keislaman dan keacehan, di samping tema gerakan sosial baru, perdamaian, komunikasi publik, dan penguatan jejaring. Ini untuk mengantisipasi kerusakan Aceh yang lebih parah ke depan. Jangan sampai Aceh ke depan digadaikan oleh kelompok donatur yang tidak memedulikan adat istiadat dan agama di Aceh”.
Pelatihan fasilitator yang digerakkan oleh Komunitas Peradaban Aceh telah memadukan model pelatihan antara pendidikan di dalam ruangan (indoor theory) dan simulasi terjun ke dalam masyarakat (live in). Dari hasil terjun ke masyarakat ketiga desa pesisir di Lhokseumawe (Ulee Jalan, Ujong Blang, dan Hagu Barat Laut) para peserta menyimpulkan bahwa globalisasi bantuan di Aceh telah berubah menjadi bencana baru dibandingkan berkah.
Menurut Ketua Komunitas Peradaban Aceh, Teuku Kemal Fasya, hasil dari penelitian partisipatif para fasilitator di masyarakat pesisir tersebut memberikan sinyal bahwa masyarakat sudah cukup kritis dengan keberadaan NGO di Aceh. Jika dahulu masalah pembangunan ada pada kebijakan politik Orde Baru yang sentralistik, kini mengarah pada jaringan global bantuan yang dianggap merenggut keindahan gampong Aceh masa lampau.
Masyarakat Aceh semakin rindu dengan romantika gampong Aceh yang permai dan seimbang secara kultural dan agama. Pembangunan Aceh yang sewenang-wenang telah menyebabkan tersebarnya virus budaya global. Yang paling nyata adalah kurangnya solidaritas dan mekarnya semangat individualistis. Ini yang menyebabkan masyarakat Aceh membangun fiksasi kemajuan seperti yang ada pada masa Sultan Iskandar Muda. “Padahal masa lalu itu tak mungkin diulang,” ungkap Kemal yang ditemui terpisah. Seorang peserta dari kalangan buruh Rasyid, berpendapat dibutuhkan strategi pemberdayaan baru bagi Aceh, yaitu mengantikan semangat filantropi dolar yang dibawa oleh fasilitator asing dan non-lokal.
Namun, dampak-dampak negative dari globalisasi ini sebenarnya dapat kita tanggulangi apabila pemerintah dan masyarakat mau saling bahu-membahu dalam perbaikan moral bangsa. Seperti:
• Orang tua seharusnya mengerti internet agar dapat mengawasi apa yang dilakukan oleh putra-putri mereka di dunia maya.
• Orang tua lebih mengontrol anak-anak mereka dalam pergaulan.
• Sekolah-sekolah menanamkan nilai-nlai islam yang lebih dalam, sehingga para remaja dapat membedakan dan memilih yang mana baik untuk mereka dan mana yang buruk bagi mereka.
• Wilayatul Hisbah (WH) dapat lebih mengontrol masyarakat Aceh, tidak hanya mengontrol orang-orang dari kalangan bawah, tetapi mengontrol semua kelompok masyarakat tanpa pandang bulu.
Namun, tidak semua hal dari globalisasi ini berdampak negative terhadap kehidupan masyarakat Aceh. Media elekronik dan media cetak juga mempunyai banyak efek positif, sebagai contoh internet mempunyai informasi yang sangat luas, yang dapat memperluas dan membuka pikiran kita.

No comments:

Post a Comment