Sunday, 28 April 2013
Van Peursen
Kebudayaan lahir dan hidup bersama masyarakat manusia, masyarakat menjadi wadahnya dan manusia yang melahirkannya. Kroeber dan Clyde Kluckhon dalam Notowidagdo (1997:25), kebudayaan adalah keseluruhan hasil perbuatan manusia yang bersumber dari kemauan, pikiran dan perasaannya. Bakker (1994: 22) mengemukakan kebudayaan adalah penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani. Gazalba (1973:59) berpendapat, kebudayaan ialah cara berpikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan suatu waktu. Berkiblat dari pemikiran di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kebudayaan (dalam arti luas) adalah hasil budi manusia yang bersumber dari cipta, rasa dan karsanya dalam suatu ruang dan waktu; kebudayaan (dalam arti sempit) adalah hasil budi manusia yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu. Dengan demikian kebudayaan pada dasarnya sangat kompleks karena bukan hanya terbatas pada hasil budi sekelompok sosial manusia yang menempati ruang/tempat tertentu dan atau hasil karya seni pisik/bendawi yang hanya dapat diindera seperti: seni pahat, lukisan, tarian, pakaian atau bangunan khas (suatu daerah), tetapi lebih dari itu kompleks ide/gagasan, adat kebiasaan, norma, kepercayaan, dan nilai-nilai insani yang lain dalam kehidupan masuk dalam lingkaran kebudayaan.
A. Bagan kebudayaan
Prof. Dr. C. A. Van Peursen mencetuskan Bagan Tiga Tahap Kebudayaan. Adapun ketiga tahap dalam bagan ini ialah:
1. Tahap mitis,
2. Tahap ontologism, dan
3. Tahap fungsionil.
Yang dimaksudkan dengan tahap mitis ialah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif. Dimana dalam kebudayaan modern pun sikap mitis ini masih terasa.
Orang menyebut budaya yang lama dengan istilah ”primitif”. Kendati sebutan itu menurut Peursen sudah tidak relevan lagi. Karena, menurutnya, dunia alam pikirannya mengandung suatu filsafat yang dalam, gambaran yang ajaib dan adat istiadat yang beragam. Runutan epistemologis akan menemukan kata mitos dari kata mitis ini, kata mitos sendiri berarti sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu untuk sekompok orang. Mitos biasanya diturunkan oleh pendahulu dan akan diteruskan lagi. Begitulah kemudian akhirnya sebuah mitos bergulir dari jaman ke jaman. Cerita atau tuturan penurunan ini dapat diungkapkan dengan kata-kata, tari-tarian, atau pementasan lain, wayang misalnya.
Tarian di samping sebagai salah satu wujud tradisi lisan, juga sekaligus sebagai suatu bentuk seni pertunjukan. Dikatakan sebagai suatu tradisi lisan karena tarian tersebut mengandung dimensi mithologi atau pesan tertentu yang hanya dipahami oleh pendukung tarian tersebut, dengan demikian menjadi sarana komunikasi, sosialisasi atau sebagai suatu proses reproduksi kebudayaan baik dalam konteks ritual, seni, maupun dalam bentuk pertunjukan lainnya. Dengan asumsi bahwa tarian merupakan bagian dari media pertunjukan dan performance itu selalu mengharapkan adanya audience. Selain Kapferer, Bauman juga menekankan bahwa performance merupakan suatu bentuk perilaku yang komunikatif dan sebagai suatu peristiwa komunikasi, atau “performance usually of communication, framed in a special way and put on display for an audience”. Ini menunjukkan bahwa bahwa tarian sebagai suatu bentuk seni pertunjukan sama dengan seni pertunjukan lainnya dimana audience menjadi bagian darinya. Disamping itu, tarian juga merupakan salah satu alat atau media komunikasi yang bersifat lisan (non-verbal), baik dalam konteks seni maupun ritual. Proses transformasi makna lewat komunikasi tersebut, berbeda dengan bahasa (narasi dan visual), dimana makna yang diekspresikan lewat tarian melalui perilaku atau gerakan.Mitos tidak hanya sebuah reportase akan apa yang telah terjadi saja, namun mitos itu memberikan semacam arah kepada kelakuan manusia dan digunakan sebagai pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos manusia mengambil bagian (ber-part-sipasi).
Partisipasi manusia dalam alam pikiran mitis ini dilukiskan sederhana sebagai berikut: Terdapat subjek, yaitu manusia (S) yang dilingkari oleh dunia, obyek (O). Tetapi subjek itu tidak bulat sehingga daya-daya kekuatan alam dapat menerobosnya. Manusia (S) itu terbuka dan dengan demikian berpartisipasi dengan daya-daya kekuatan alam (O). Partisipasi tersebut berarti bahwa manusia belum mempunyai identitas atau individualitas yang bulat, masih sangat terbukan dan belum merupakan suatu subjek yang berdikari sehingga dunia sekitarnya pun belum dapat disebut (O) yang sempurna dan utuh.
Alam pikiran mistis:
o
Keterangan:
O = Objek/jagat/daya-daya kekuatan alam
S = Subjek/manusia.
Fungsi-fungsi mitos adalah:
1. Menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib.
2. Memberi jaminan bagi masa kini bahwa usaha manusia dalam mengukir sejarah hidupnya akan terus terjadi dan akan ada keberhasilan yang terus berulang-ulang (retardasi).
Ringkasnya mitos berfungsi menampakkan kekuatan-kekuatan, menjamin hari ini, memberi pengetahuan tentang dunia bahwa manusia berada dalam lingkaran kekuatan alam. Di sinilah tampak kemudian geliat tarik menarik antara imanensi dan transendensi. Jangan salah, ketika dalam alam pikiran mitis pun manusia telah memiliki norma/ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia. Norma atau ketentuan inilah yang kemudian akan terus berubah entah mengalami kemajuan ataupun dekandensi. Sebut saja dahulu ada ketentuan anak banyak maka banyak pula rejekinya. Orang jaman dulu tak malu memiliki banyak anak. Namun, seiring bergesernya peradaban banyak anak menjadi suatu aib bahkan ”dilarang” oleh pemerintah/sang pemegang kekuasaan. Muncullah kemudian tindakan abortus. Begitulah normapun akan berjalan seiring perkembangan manusia dalam berpikirnya. Kata mitos lekat pula dengan kata magi. Namun keduanya sangat bertentangan. Mitos lebih dekat dengan suatu pujian religius kepada sang transenden sedangkan magi lebih kekaguman kepada diri sendiri (sang imanen). Ketegangan ini juga akan nampak dalam fenomena budaya. Lihat saja patung-patung jaman Yunani kuno yang sebelumnya didominasi oleh patung dewa-dewi tradisonal akan beralih didominasi oleh para raja yang mengaku sebagai dewa demi mengkultuskan dirinya sendiri.
Tahap yang kedua atau tahap ontologis adalah sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu). Kita akan melihat, bahwa ontologi itu berkembang dalam lingkungan-lingkungan kebudayaan kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.
Alam Pikiran Ontologis:
S O Keterangan:
O = Objek/jagat/daya-daya kekuatan alam
S = Subjek/manusia
Dalam alam pikiran ontologism ini, manusia mulai mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang mengitarinya. Ia tidak begitu terkurung lagi, bahkan kadang ia bertindak sebagai penonton atas hidupnya sendiri. Ia berusaha memperoleh pengertian mengenai daya-daya kekuatan yang menggerakkan alam dan manusia. Perkembangan ini pernah disebut sebagai perkembangan dari ”mitos” ke ”logos”. Kata ”logos” mengandung arti sesuatu yang mirip dengan ”logis”. Namun, dalam tahap ini memang manusia tidak hanya melulu berpikir secara logis, tapi emosi dan harapan juga bermain di sini, pun agama dan keyakinan juga tetap berpengaruh. Sekarang ajaran mengenai dunia mitologis berubah menjadi metafisika.
Refleksi atas kehidupan manusia dengan para pemikir besar Yunani, sebut saja Aristoteles, Plato, dan lain-lain meramaikan alam pikiran ontologis ini. Pertanyaan yang diajukan dalam alam pikiran ini adalah tentang dunia transenden, tentang kebebasan manusia, pengertian mengenai dosa dan kehidupan, eskaton (akhir jaman), dll. Fungsi dari alam pikiran ontologis adalah sebagai berikut: pertama, membuat suatu peta mengenai segala sesuatu yang mengatasi manusia. Gambar dari tahap ontologis adalah sebagai berikut: Ontologis tersebut mau mengatakan sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu). Akan terlihat bahwa ontologi itu berkembang dalam lingkungan-lingkungan kebudayaan kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.
Tahap ketiga atau fungsionil ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mitis), ia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak terhadap obyek penyelidikannya (sikap ontologis). Bukan, ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya.
Tahap fungsional adalah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mitis). Ia tidak lagi, dengan kepala dingin, mengambil jarak terhadap obyek penelitiannya (sikap ontologis). Ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya. Dalam gambar strategi fugnsional itu nampak sebagai berikut: Strategi kebudayaan sebetulnya lebih luas dari pada hanya menyusun suatu policy tertentu mengenai kebudayaan. Di belakang policy kebudayaan seperti disusun oleh pemerintah atau diperjuangkan oleh sekelompok seniman atau ilmiawan, terpampang masalah-masalah yang lebih luas jangkauannya. Seperti misalnya pertanyaan-pertanyaan menyangkut tujuan hidup, makna kehidupan, norma yang mengatur kontak antar manusia, dsb. Dan oleh karena pertanyaan itu, manusia selalu berusaha menemukan jawaban-jawabannya. Maka teruslah proses dinamika sejarah tersebut.
B. Kebudayaan sebagai rencana.
Kebudayaan dapat dipandang sebagai cara-cara untuk mengatasi masalah. Dan bila ditelusuri lebih dalam untuk mencapai tujuan bukan saja piranti yang dibutuhkan harus ada, namun agar piranti tersebut dapat digunakan efektif dan atau efisien dalam mencapai tujuan yang hakikatnya berada dalam lingkaran masa depan maka memerlukan sebuah rencana dan atau strategi yang matang/baik, dengan kata lain rencana dan atau strategi yang baik akan membawa manusia pada pencapaian masa depan atau hari esok yang cerah sebagai titik tujuan. Van Peursen (1978:216) mengatakan, bahwa kebudayaan merupakan strategi atau rencana yang dibuat oleh manusia dan diarahkan kepada hari depan. Dengan demikian kebudayaan bukan saja merupakan alat/piranti untuk menggapai tujuan, hari depan yang cerah, tetapi sekaligus sebagai strategi dan atau rencana masa depan, masa depan yang panjang, masa depan yang diperebutkan tangan-tangan insan.
Mencapai hari/masa depan yang cerah menjadi impian setiap orang, untuk itulah memerlukan rencana yang baik dan alat yang baik pula. Kebudayaan sebagai rencana masa depan kehidupan manusia, yang mana manusia sendiri sebagai produsen dan sekaligus konsumen kebudayaan oleh karenanya manusia haruslah dapat melahirkan kebudayaan yang baik, kebudayaan yang memiliki nilai kemanusiaan dan nilai keilahian, kebudayaan yang membumi dan langit.
Kebudayaan yang memiliki nilai kemanusiaan dan nilai keilahian atau kebudayaan yang membumi dan melangit inilah yang dapat membuat manusia dalam suasana keaktifan, kedinamisan, keoptimisan, kearifan dan keselarasan/ keseimbangan serta kesadaran terhadap dirinya baik sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Kebudayaan ini pula yang dapat melepaskan tali belenggu kebodohan dan pembodohan, kemiskinan dan pemiskinan (moral). Juga menjadi peluru yang dapat merobek tabir misteri kehidupan, dan peluru penembus dinding penyekat ruang dan waktu yang sempit dan menyempit yang terus membentengi kehidupan manusia. Dan pada akhirnya melalui kebudayaan yang didasari nilai kemanusiaan dan keilahian manusia mampu meraih hari depan yang cerah sebagai titik tujuan yang dicita-citakan.
Gazalba (1973: 60) mengatakan, bahwa ruang dan waktu menentukan kebudayaan. Berbeda ruang berbeda kebudyaannya. Berlainan waktu berlainan kebudayaannya. Kebudayaan pada hakikatnya terus berubah sesuai perkembangan zaman dan menjadi media yang menjadikan manusia mengerti dirinya dan dunianya, menjadikan insan yang berbudaya dan beradab, serta menjadi jembatan emas yang mengantarkan manusia meraih hari depan yang dicita-citakan yang didasari nilai kemanusiaan dan keilaihian.
C. Dunia-dunia yang mungkin dan yang tidak mungkin
1. Struktur-struktur dunia
Apabila kita mempelajari sebuah struktur, maka biasanya perhatian kita lebih tertarik oleh pola garis-garis daripada oleh unsur-unsur sendiri dalam hubungan itu. Kadang-kadang kita harus menembus barang-barang untuk dapat melihat strukturnya. Struktur atau susunan selembar daun pohon dengan tulang-tulangnya baru tampak jelas, bila daun itu dikeringkan dulu, sehingga unsur-unsurnya, seperti hijau daun, maupun sel-sel lenyap, sehingga tampaklah strukturnya yang lebih abstrak. Tetapi sebagian dari individualitas daun tersebut hilang, struktur itu sama dengan struktur daun-daun lainnya.
Cara terbaik untuk menjelaskannya ialah sebuah pepatah tersohor dari filsuf G.W. Leiniz: “semua dunia yang mungkin”, artinya dunia yang tidak hnaya menjelaskan dunia kita ini, tetapi semua dunia yang tidak ada, tetapi yang mungkin pernah akan ada. Bagaimana pun abstraknya suatu dunia yang mungkin kita bayangkan tetap di sana memiliki sebuah struktur, seperti perumpamaan daun diatas. Sehingga dapat menghasilkan dunia individual (misalnya satu dunia yang sepi dari kecelakaan tertentu, atau suatu dunia yang tidak memiliki gaya grafitasi). Menurut Leibniz terciptanya dunia ini oleh Tuhan juga terjadi sedemikian rupa. Dalam batin Tuhan terkandung sebuah skema umum mengenai segala macam dunia yang mungkin. Salah satu di antaranya dipilih Tuhan dan demikianlah dunia ini terjadi.
2. Bidang gelap
Dari mekanisme pelatuk, dapat kita pahami Struktur bukanlah sebuah nasib yang harus kita terima begitu saja. Justru sebaliknya, apabila kita dapat memahami struktur-struktur itu, maka kita dapat melihat juga di mana terdapat jalan-jalan buntu, sehingga jalan terbuka bagi permasalahan yang serba baru, yaitu bagaimana kita dapat menggerakkan suatu strategi kebudayaan yang sungguh dapat dipertanggungjawabkan.
Sangatlah sulit untuk menghapus bidang gelap, sebagai contoh dapat kita lihat pada kehidupan para gelandangan yang sudah sering kita temui, namun kita tidak melakukan apa pun untuk merubah kondisi mereka, bahkan terkadang para gelandangan itu tidak mau di pindahkan dari kehidupannya. Para gelandangan menolak untuk dipindahkan biasanya karena mereka takut untuk menghadapi situasi yang baru, dan cara hidup mereka atau pun tempat tinggal mereka yang tidak manusiawi tidak meresahkan mereka sama sekali, bahkan mereka tidak menganggap hal tersebut memerosotkan martabat mereka. Untuk menanggulangi situasi seperti ini kedua pihak harus bekerjasama, yang dibantu, dan yang membantu, barulah bidang gelap dapat dihilangkan.
a. Kesimpulan
Kebudayaan lahir dan hidup bersama masyarakat manusia, masyarakat menjadi wadahnya dan manusia yang melahirkannya.
Tiga tahap dalam bagan kebudayaan ialah: Tahap mitis, tahap ontologism, dan tahap fungsionil.
kebudayaan merupakan strategi atau rencana yang dibuat oleh manusia dan diarahkan kepada hari depan. Dengan demikian kebudayaan bukan saja merupakan alat/piranti untuk menggapai tujuan, hari depan yang cerah, tetapi sekaligus sebagai strategi dan atau rencana masa depan, masa depan yang panjang, masa depan yang diperebutkan tangan-tangan insan.
Setiap dunia yang diangan-angankan manusia, atau setiap hal yang abstrak pada dasarnya pasti memiliki struktur.
Cara untuk menghilangkan bidang gelap adalah dengan meninggkatkan kepedulian kita terhadap sekeliling kita, tidak menyerahkan segala hal kepada nasib, namun kita harus melawannya.
Labels:
Philosophy
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment