Sunday, 28 April 2013

Iman, Ibadah dan Etika dalam Islam

Kita sering mendengar perkataan Iman atau Ibadah, tapi masih banyak yang bingung atau tidak mengetahui apa definisi dari kedua hal tersebut, dan adakah keterkaitan diantara keduanya? Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai hal-hal ini. Tidak hanya sebatas itu, kami juga akan membahas mengenai etika seorang muslim dalam segala aspek kehidupan. Dewasa ini, Islam sudah sangat menyebar luas, namun banyak hal-hal yang sudah mulai dilupakan pada pergaulan diantara sesame muslim. Dunia yang sudah sangat mengglobal turut andil dalam perubahan etika umat muslim pada saat ini, dunia Islam bahkan sudah terkena pengaruh barat dalam pergaulan diantara sesama muslim. banyak orang-orang muslim yang tidak mengetahui bagaimana pergaulan didalam Islam yang sesungguhnya. Maka dari pada itu kami dari pemakalah menganggkat etika diantara sesama muslim agar kita kembali ke ajaran agama kita.

BAB II
PEMBAHASAN

Iman 
A. Pengertian Iman
Kata iman secara etimologi adalah masdar dari kata aamana, yu’minu, imaanan, fahwa Mukminun yang diambil dari kata al-amnu. Al-Jauhari, Ibnu Mandur, Ar-Razi berkata, “Iman artinya percaya.” Namun, Ibnu Tamiyah mengkritik pemaknaan iman dengan kepercayaan dan menyanggah mereka dari banyak sisi. Beliau melihat bahwa makna yang paling dekat dengan keimanan adalah iqrar (pernyataan). Sedangkan secara terminology Ahlu sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, yaitu perkataan dengan lisan dan perbuatan dengan hati dan anggota badan. Iman adalah amal, pernyataan dengan lisan dan keyakinan. Ini adalah pendapat Muktazilah, pendapat seperti ini sama dengan pendapat Ahlu sunnah wal Jama’ah, tetapi Muktazilah menjadikan amal perbuatan sebagai syarat dalam sahnya keimanan. Sedangkan Ahlu sunnah wal Jama’ah menjadikan amal sebagai syarat kesempurnaannya secara mutlak.

B. Pokok Iman
Pokok iman terbagi tiga, yaitu: Iman ilahiyat (iman yang berkaitan dengan Allah). Iman Nabawiyyat (iman yang berkaitan dengan semua nabi). Dan Iman Sam’iyyat (iman yang berkaitan dengan mendengar firman Allah dan sabda Rasulullah saw). Ibadah Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut terminology abadah mempunyai banyak definisi, antara lain:
1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin. Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman: “dan Aku tidak menciptakan melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak mengkehendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak mengkehendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha pemberi rizki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh”. (Adz-Dzaariyaat : 56-58) Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan). Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus disertai dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsure-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin: “Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya”. (Al-Maaidah: 54)”. “Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah”. (Al-Baqarah: 165) “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami”. (Al-Anbiya: 90) Hubungan Iman dengan Ibadah Berdasarkan penjelasan sebelumnya kita dapat menemukan hubungan antara iman dengan ibadah, tanpa adanya iman seorang mukalaf tidak mungkin melaksanakan ibadah, karena iman adalah dasar dari agama. Maka seseorang yang beriman, maka pastilah ia akan melaksanakan ibadah. Iman adalah perkataan dan perbuatan, yaitu perkataan dengan lisan dan perbuatan dengan hati dan anggota badan. Berdasarkan pengertian ini dapat kita tarik kesimpulan dengan adanya iman maka seseorang akan melakukan Ibadah, karena keimanan seseorang baru lengkap apabila seseorang itu tidak hanya menyatakan dengan lisan dan membenarkan dengan hati, tapi juga harus disertai dengan amal perbuatan (Ibadah). Kita juga dapat melihat keterkaitan antara Iman dan ibadah pada sabda Rasulullah saw: “Iman itu berkisaran antara tujuh puluhan atau delapan puluhan bahagian, yang paling tinggi mengucapkan lailahailallah, dan yang paling rendah dari iman adalah membuang duri dari jalan. Dan malu itu adalah salah satu dari iman”. Membuang duri dijalan juga merupakan ibadah. Dan kita tidak beribadah selain pada-Nya, ini merupakan perwujudan dari kalimat lailahailallah. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah selain kepada Allah adalah kesyirikan. Allah berfirman : “Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya”. (Az-Zumar: 2)

Etika/Moral dalam Segala Aspek Kehidupan

1. Etika terhadap Allah Manusia dapat melihat kedalam dirinya nikmat-nikmat yang Allah berikan, yang tidak bisa dikalkulasikan sejak ia diciptakan hingga ia kembali menghadap Allah Ta’ala. Oleh karena itu, manusia harus bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat yang diberikan kepadanya. Allah berhakmendapat sanjungan dan manusia bersyukur dengan anggota badannya dengan dengan menggunakan anggota badannya dalam ketaatan pada-Nya. Ini adalah etika terhadap Allah Ta’ala, sangatlah tidak etis apabila manusia mengingkari nikmat, menentang keutamaan Pemberi nikmat, memungkiri-Nya, memungkiri kebaikan-Nya, dan memungkiri nikmat-nikmat-Nya. Allah berfirman: “Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak dapat menentukan jumlahnya.” (An-Nahl: 18). Rasa terima kasih manusia terhadap Allah Ta’ala atas nikmat-nikmat-Nya, rasa malunya kepada Allah jika ia cenderung bermaksiat kepada-Nya, bertaubat dengan benar, bertawakal terhadap Allah, mengharapkan rahmat-Nya, takut akan siksa-Nya, berbaik sangka bahwa Allah Ta’ala pasti menepati janji-Nya, dan berbaik sangka bahwa Allah akan melaksanakan ancaman-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya adalah etikanya terhadap Allah. Semakin ia konsisten dengan etika tersebut dan menjaganya, derajatnya semakin tinggi, kedudukannya melangit, dan kemuliaannya agung hingga kemudian ia berhak mendapatkan perlindungan Allah, pemeliharaan-Nya, kucuran rahmat-Nya, dan sasaran nikmat-Nya.

2. Etika Terhadap Al-Qur’an Seorang muslim harus beriman kepada kesucian Allah, kemuliaan-Nya, keutamaan-Nya atas semua ucapan, dan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang tidak ada kebatilan di depan dan di belakangnya. Barangsiapa yang berkata dengannya, ia akan dipercaya, dan barangsiapa yang mengamalkannya, ia bisa bersikap adil. Seorang muslim harus konsisten dengan adab dan akhlak dalam membaca Al-qur’an, dalam membaca Al-Qur’an ia harus mematuhi etika-etika berikut:
a. Ia membacanya dalam kondisi yang paling sempurna, misalnya dalam keadaan bersih, enghadap kiblat, dan duduk dengan santun.
b. Ia membacanya dengan tartil, tidak tergesa-gesa, dan tidak mengkhatamkannya kurang dari tiga malam, karena Rasulullah bersabda: “Barangsiapa mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga malam, ia tidak akan memahaminya.” (diriwayatkan oleh semua penulis Sunnah dan di shahihkan At-Tirmidzi).
c. Khusyu’ dalam membacanya, memperlihatkan kesedihan, dan menangis, atau pura-pura menangis jika ia tidak bisa menangis, karena Rasulullah s.a.w berasabda: “Bacalah Al-Qur’an dalam keadaan menangis. Jika tidak bisa menangis, maka pura-puralah menangis.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah).
d. Memperindah suaranya ketika membaca Al-Qur’an, Rasullah bersabda: “Hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalian.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, An-Nasai, dan Al-Hakim).
e. Merahasiakan tilawahnya, jika ia khawatir jatuh dalam riya, atau mengganggu orang yang shalat, Rasulullah bersabda: “Orang yang mambaca Al-Qur’an dengan terang-terangan itu seperti orang yang bersedekah dngan terang-terangan.” (Diriwayatkan oleh, At-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Daud, dan Ahmad).
f. Ketika ia membaca Al-Qur’an, ia tidak termasuk orang-orang yang melalaikan atau menentangnya, sebab sikap seperti itu bisa jadi menyababkan ia mengutuk dirinya sendiri, Allah berfirman: “Laknat allah bagi orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-A’raaf: 44).
g. Berusaha keras bersifatkan sifat-sifat orang-orang yang dikasihi Allah, dan orang-orang pilihan-Nya. 3. Etika Terhada Rasulullah S.A.W Etika terhadap Rasulullah s.a.w adalah sebagai berikut: a. Taat kepada Rasulullah, menapaktilasi jejaknya, dan meneliti jalannya dalam seluruh jalan dunia, dan akhirat. b. Cinta kepada Rasulullah, hormat kepadanya, dan pengagungan kepadanya harus didahulukan daripada cinta kepada yang lain, hormat kepada yang lain, dan pengagungan kepada yang lain, siapapun orangnya. c. Mencintai siapa saja yang dicintai Rasulullah, memusuhi siapa saja yang dimusuhi beliau, ridha dengan apa saja yang diridhainya, dan marah kepada apa yang dimarahi beliau. d. Mengagungkan nama Rasulullah, menghormatinya ketika namanya disebutkan, mengucapkan shalawat dan salam untuknya, dan menghormati seluruh kelebihannya. e. Membenarkan apa yang dijelaskan Rasulullah tentang persoalan dunia, dan masalah-masalah ghaib di kehidupan dunia dan akhirat. f. Menghidupkan sunnah Rasulullah, memenangkan syari’atnya, menyampaikan dakwahnya, dan melaksanakan wasiat-wasiatnya. g. Merendahkan suara dikuburannya, dan masjidnya bagi orang yang mendapatkan kehormatan bisa menziarahi kuburannya. h. Mencintai orang-orang shalih, loyal kepada mereka karena kecintaan Rasulullah kepada mereka, marah kepada orang-orang fasik, dan memusuhi mereka, karena kemarahan beliau kepada mereka. 4. Etika Terhadap Diri Sendiri Setiap muslim meyakini bahwa kebahagiaannya di dunia, dan akhirat sangat ditentukan oleh sejauh mana pembinaan terhadap dirinya, perbaikan dirinya, dan penyucian dirinya. Allah berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jaiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10). Setiap muslim tidak henti-hentinya membina dirinya, menyucikannya, dan membersihkannya, sebab ia orang yang paling banyak membinanya, kemudian memperbaikinya dengan etika-etika yang membersihkannya, dan menyucikannya. Dalam memperbaiki dirinya, membinanya, dan membersihkannya, seorang muslim dapat menempuh jalan-jalan berikut:
 Taubat, yaitu melepaskan diri dari semua dosa dan kemaksiatan, menyesali semua dosa-dosa masa lalunya, dan bertekat tidak kembali kepada dosa di sisa-sisa umurnya.
 Muraqabah, yaitu seorang muslim mengkondisikan dirinya merasa diawasi oleh Allah setiap waktu dalam kehidupannya hingga akhir kehidupannya.  Muhasabah, yaitu evaluasi diri.
 Mujahadah, yaitu perjuangan, yang dimaksud perjuangan disini adalah perjuangan melawan hawa nafsu. 5. Etika Terhadap Manusia a. Etika terhadap orang tua seorang muslim harus menjaga etikanya terhadap orang tuanya, berikut ini etika-etika yang harus seorang muslim lakukan terhadap orang tuanya:  Taat kepada kedua orang tua dalam setiap perintah dan larangannya, selama di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan kepada Allah, dan pelanggaran terhadap syari’at-Nya.  Hormat dan menghargai kedua orang tuanya.
 Berbakti kepada keduanya.
 Menyambung hubungan kekerabatan, mando’akannya, dan memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji (wasiat), dan memuliakan teman-teman keduanya. b. Etika terhadap anak-anak Orang Islam mengakui bahwa anak-anak mempunyai hak-hak atas orang tuanya dan hak-hak tersebut wajib ditunaikan oleh orang tua, dan mereka mempunyai etika yang harus diperhatikan dalam hubungannya dengan anak-anaknya. Diantara hak-hak anaka atas orang tuanya ialah menamakannya dengan nama yang baik, menyembelih kambing pada hari ketujuh klahirannya, mengkhitannya, mengasihinya, lemah-lembut terhadapnya, menafkahinya, mendidiknya dengan baik, serius mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepadanya, melatihnya mengerjakan ibadah-ibadah wajib dan sunnah, menikahkannya jika ia sudah mencapai usia baligh. Firman Allah: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 233). c. Etika terhadap saudara Orang Muslim mengakui bahwa etika terhadap saudara itu sama persis dengan etika terhadap orang tua dan anak. Etika adik terhadap kakaknya sama persis dengan etika seorang anak terhadap orang tuanya. Rasulullah bersabda: “Berbaktilah kepada ibumu, ayahmu, saudara perempuan dan saudara laki-lakimu, kemudian kepada yang ada dibawahmu secara berurutan.” d. Etika suami-istri Orang muslim meyakini adanya etika timbale balik antara suami dan istri, etika tersebut antara lain, Amanah, cinta kasih, saling percaya, etika umum, seperti lemah lembut dalam pergaulah sehari-hari, wajah yang berseri-seri, ucapan yang baik, penghargaan dan penghormatan. e. Etika terhadap sanak kerabat Orang muslim menjalankan etika-etika terhadap sanak kerabat sama denganetika-etika yang mereka jalankan terhadap orang tua, anak-anak, dan saudara-saudaranya. Ia memperlakakukan bibi dan pamannya sama seperti perlakuannya terhadap orang tuanya sendiri. Untuk itu, ia menghormati orang-orang diantara sanak kerabatnya, menyayangi anak-anak kecil dari sanak kerabatnya, menjenguk siapa saja yang sakit diantara mereka, memberi bantuan kepada siapa saja yang mendapat musibah, dan ramah terhadap mereka walaupun mereka menzaliminya. f. Etika terhadap tetangga Orang muslim meyakini bahwa tetangga mempunyai hak-hak atas dirinya, dan etika-etika yang harus dijalankan seseorang terhadap mereka, berdasarkan Firman Allah: “Dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat tetangga yang jauh. (QS. An-Nisa: 36). Etika terhadap tetangga adalah tidak menyakitinya dengan ucapan, berbuat baik kepadanya dengan menolongnya apabila ia meminta pertolongan, membantunya jika ia membutuhkan bantuan, menjenguknya jika ia sakit, mengucapkan selamat kepadanya jika ia bahagia, bersikap dermawan dengan memberikan kebaikan kepadanya, dan menghormati dan menghargainya dengan tidak melarangnya meletakkan kayu di temboknya. g. Etika terhadap muslim lainnya  Mengucapkan salam  Jika seorang muslim bersin dan membaca alhamdulillah, maka do’akanlah ia dengan berkata, “Yarmukallahu” (mudah-mudahan Allah merahmatimu). Kemudian orang yang bersin berkata, “Yagfirullahu li wa laka” (semoga Allah memberikan ampunan kepadaku dan kepadamu. Atau ia berkata, “Yahdikumullahu wa yushlihu balakum” (semoga Allah memberi petunjuk kepadamu, dan memperbaiki hatimu).  Menjenguknya jika ia sakit, dan mendo’akan kesembuhan baginya.  Menyaksikan jenazah tetangganya jika ada yang meninggal dunia. Rasulullah bersada: “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: menjawab salamnya, menjenguk orang sakit, mengantar jenazahnya, memenuhi undangan, dan mendo’akan orang yang bersin.” (Muttafaq Alaih).  Tidak menimpakan keburukan kepadanya.  Rendah hati, tidak sombong.  Tidak mendiamkannya lebih dari tiga hari.  Tidak mengunjingnya, tidak menghinanya, tidak mencacinya, tidak melecehkannya, tidak menggelarinya dengan gelar yang tidak baik.  Ia tidak dengki kepadanya, atau berprasangka buruk terhadapnya, atau membuatnya marah, atau mencari-cari kesalahannya.  Tidak menipunya.tidak menghianatinya, atau mendustakannya, atau menunda pembayaran hutangnya. BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Iman adalah perkataan dan perbuatan, yaitu perkataan dengan lisan dan perbuatan dengan hati dan anggota badan. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi. Hubungan iman dan ibadah adalah tanpa adanya keimanan pada diri seseorang maka tidak mungkin ia akan melaksanakan ibadah. Abidin, S.A. Zainal. 2001. Kunci Ibadah. Semarang: Karya Toha Al-Jazairi, Abu Bakr Jabir. 2000. Ensiklopedi Muslim. Terjemahan oleh Bahri Fadli dari Minhajul Muslim (Tanpa Tahun). Jakarta: Darul Falah. Al-Qahthani, Said bin Musfir. 2003. Buku Putih Syaik Abdul Qadir Al-Jaliani. Terjemahan oleh Abidin Munirul dari Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jaliani wa Ash-Shufiyah (Tanpa Tahun). Jakarta: Darul Falah. (http://abuafif.wordpress.com/2007/08/09/pengertian-ibadah-dalam-islam., diakses 18 april 2011).

No comments:

Post a Comment