Thursday, 6 September 2012

Kerajaan-Kerajaan di Aceh

1. Kerajaan Lamuri Kerajaan Lamuri (Indra Purba) terletak di lokasi kota Banda Aceh sampai Aceh Besar sekarang. Kata Lamuri berasal dari kata Lam-Urik, yaitu nama sebuah kampung di mukim Lamkrak di daerah sibreh sekarang. Kerajaan Lamuri mempunyai 3 daerah pertahanan yang strategis letaknya, yaitu:  Indra Puri  Indra Patra, dan  Indra Purwa Berasal dari 3 daerah pertahanan inilah pada masa kerajaan Aceh Darussalam dinamai Aceh Lhée Sagoё (Aceh Tiga Segi). Dari berbagai sumber ditemukan berbagai istilah untuk kerajaan ini, mulai abad ke-9 beberapa teks Arab menyebut suatu daerah yang bernama “Rāmi” atau “Ramni” atau kadang-kadang “Lamri”. Pada tahun 1030/31 prasasti Thanjavur yang besar itu menyebut tanah “Ilāmurideśam” yang letaknya dekat Mānakkavāram (Pulau Nikobar Besar) dan diperintah oleh Rāyendracoladewa I. Prasasti itu disebut bahwa pada tahun 1024. M, Raja Cola mengerahkan armada laut yang besar dan angkatan perang yang tangguh untuk melaksanakan serangan terhadap beberapa daerah Sumatera dan semenanjung Melayu. Disebutkan juga bahwa Ilamuridesam (Lamuri) yang tampil dalam perang dengan kekuatan dahsyat. Namun, akhirnya Lamuri dikalahkan oleh Kerajaan Chola, tetapi sesudah memberi perlawanan yang hebat. Ini menandakan bahwa Lamuri adalah sebuah kerajaan kecil, tetapi merupakan kerajaan yang cukup besar untuk ukuran masa itu, karena Lamuri mampu memberi perlawanan yang hebat terhadap kerajaan besar seperti Chola. Setelah mendapatkan serangan dari Kerajaan Chola kesatuan kerajaan ini pun pecah, sehingga daerah-daerah pertahanannya seperti Indra Puri, Indra Patra, dan Indra Purwa masing-masing berdiri sendiri, dan merekapun saling berperang (perang saudara) antara kerajaan-kerajaan tersebut. Pada abad ke-13 teks-teks Cina memuat nama tempat Lan-Wu-Li atau Lan-li, pada akhir abad ke-13 Marco Polo singgah di pelabuhan-pelabuhan daerah bagian utara Sumatera dan memberitakan terdapatnya agama Islam dalam salah satu dari enam pelabuhandagang yang nama-namanya disebut olehnya, yaitu; Ferlec, Basman, Sumatra, Daroian, Lambri, dan Fansur. Nama Lamuri disebut pula oleh banyak sumber-sumber lainnya. a. Islam Masuk ke Lamuri Pada pertengahan abad ke XII.M kerajaan Indra Purwa mendapat serangan dari kerajaan Seudu (Cantoli) yang dipimpin oleh seorang wanita bernama “Puteri Nian Nio Liang Khi” (yang lebih dikenal dengan Putroe Neng), dia adalah anak dari raja Seudu dari dinasti Liang Khi. Setelah pasukan Putroe Neng berhasil menaklukkan kerajaan Indra Purwa pasukan Putroe Neng melanjutkan serangan ke Kerajaan Indra Purba (Lamuri), pada masa itu raja yang memerintah adalah Maharaja Indra Sakti. Putroe Neng mendirikan benteng pertahanan didaerah yang sekarang disebut “Lingkée” yang berasal dari kata Liang khi. Dalam suasana peperangan inilah datang rombongan Syah Hudan (Syekh Abdullah Kan’an) yang terdiri dari 300 umat Islam yang datang bersama keluarganya. Mereka datang dari Perlak (perguruan Islam Dayah Cot Kala, Bayeuen). Mereka mendapat izin dari raja Indra Purba untuk bermukim didaerahnya. Tempat yang mereka pilih saat itu adalah Mamprai (dekat Samahani), disana mereka membuat tempat kediaman dan membuka perkebunan Lada. Syiah Hudan menawarkan bantuannya kepada Maharaja Indra Sakti untuk melawan pasukan Putroe Neng, tawaran ini diterima oleh Raja. Umat muslim dengan semangat Jihad fi Sabilillah langsung menggempur pasukan Buddha Putroe Neng. Mereka membagi pasukan menjadi dua bagian, satu dipimpin oleh Syiah Hudan, dan yang satu dipimpin oleh Meurah Johan. Pasukan Syiah Hudan menuju utara (benteng Lingkee), dan pasukan Meurah Johan menuju barat (Gunung Keumba). Pasukan muslim memperoleh kemenangan. Masyarakat yang menyaksikan peperangan tersebut menjadi tertarik untuk memeluk Islam, Maharaja Indra Sakti dan keluarganya juga memeluk Islam dan menganjurkan masyarakatnya untuk memeluk Islam pula. Raja mengangkat Meurah Johan sebagai menantu. Tidak lama kemudian Putroe Neng juga menganut agama Islam dan menikah dengan Meurah Johan (sebagai istri ke II), hal-hal inilah yang kemudian memicu masyarakat Aceh pada masa itu beramai-ramailah memeluk Islam. Setelah Maharaja Indra Sakti meninggal dunia, umat Islam mendirikan Kerajaan Islam yang diberi nama “Kerajaan Darussalam” pada hari Jum’at bulan Ramadhan, tahun 601.H/1205.M. dengan raja pertamanya Meurah Johan dengan gelar Sulthan Alaiddin Jauhan Syah. 2. Kerajaan Daya a. Daya pada Masa Pra Islam Negeri daya terletak di pesisir barat ujung pulau Sumatra, terletak diantara gunung Geurutee dan gunung Satu/Krueng No. daerah ini merupakan daerah agraris yang subur. Daerah ini meliputi Lhok Nga sampai Kuala Unga dan meliputi Aceh Barat. Menurut cerita-cerita klasik, daerah Lamno Jaya dan sekitarnya telah didiami oleh penduduk yang berasal dari daratan Asia Tenggara. Pendapat lain mengatakan bahwa sebelum kedatangan penduduk yang berasal dari daratan Asia Tenggara itu, Daya telah didiami oleh penduduk asli yang disebut dengan orang-orang “Lhan” atau “Mante” yang menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Dalam seni mereka telah mengenal sejenis seruling bambu dalam bentuk yang pendek jika dibandingkan dengan seruling bambu yang terdapat di Aceh sekarang. Dengan masuknya orang-orang dari daratan Asia Tenggara, maka penduduk asli meninggalkan kampung-kampung halaman mereka ke pedalaman-pedalaman.disebabkan oleh banyaknya penderitaan dan tantangan alam yang mereka alami jumlah mereka semakin berkurang, namun, yang sejenis mereka masih dapat kita jumpai di Pucok/Hulu pedalaman kecamatan tangan-tangan kabupaten Aceh selatan mereka dikenal sebagai “Le Co”. Ketika terjadinya hubungan dagang internasional di selat malaka, orang-orang lamno juga mengadakan hubungan dagang dengan pedagangan-pedagangan India dan China, mereka menjual burung Beo, cula badak, gading gajah, dammar dan rotan, yang dipertukarkan dengan barang-barang persolen, sutera dan perhiasan-perhiasan dari China ataupun India. Karena hubungan dagang ini terjadilah percampuran kebudayaan. Pengaruh India terhadap Lamno adalah Hinduisme, hal ini dapat kita lihat pada peninggalan arkeologis yang berupa:  Batu nisan pahlawan Sah, beliau merupakan raja di Kerajaan keuluang yang menolak masuk Islam, namun diakhir hayatnya ia sempat mengucapkan kalimah syahadat. Pada batunisannya terdapat simbul “Bunga Teratai” dan “Kalamakara” yang merupakan motif khas Hindu. Namun, pada batu nisan itu juga terdapat tulisan Arab yang berbunyai “Muhammadur Rasulullah”, hal ini menandakan masa itu merupakan masa transisi dimana perngaruh Hindu belum lenyap seluruhnya sedangkan pengaruh Islam belum begitu kuat.  Ditemukannya sebuah Guci yang berisikan abu, tulang-tulang dan mata uang, diperkirakan abu ini merupakan abu jenazah. Hal ini menandakan adanya pembakaran mayat secara Hinduisme yang kemudian abunya disimpan. Selain Kerajaan keuluang, pada zaman itu juga terdapat Kerajaan Lamno yang menganut agama Hindu dibawah pemerintahan Datuk Pagu. Namun, dengan datangnya Poteumeureuhom Daya, Datuk Pagu dengan sukarela memeluk agama Islam. Oleh Poteumeureuhom Daya, Datuk Pagu diberikan hak untuk memurintah terus diKerajaan Lamno, dibawah payung kekuasaan Poteumeureuhom Daya. b. Daya sejak mendapat pengaruh Islam Dalam rangka kerajaan-kerajaan di daerah utara pulau Sumatera dengan Kerajaan Aceh Darussalam, raja Inayah Syah (putera raja Abdullah Malikul-Mubin) telah mengadakan hubungan dengan orang-orangnegeri Daya. Raja Inayah Syah dan putranya (Raja Ri’ayah Syah)serta rombongan pergi kenegeri Daya yang kebetulan pada saat itu sangat menginginkan seorang pemimpin yang mampu menertibkan masyarakat meraeka yang pada masa itu kucar-kacir akibat sering terjadinya perang saudara. Kedatangan beliau mendapat sambutan baik dan dengan mudah dapat mengamankan dan menertibkan masyarakat Daya kembali. Kemudian Beliau menetap di daerah tepi pantai yang kemudian terkenal dengan nama “Kuala Daya”. Namun, karena Kerajaan Aceh Darussalam membutuhkan tenaga raja Inayah Syah untuk diangkat Sulthan pada Kerajaan Aceh Darussalam (885-895 M), yang kemudian memimpin negeri Daya untuk seterusnya adalah putranya, yaitu Ri’ayah Syah, dengan gelar Sulthan Salatin Ri’ayah Syah (Ri’ayah Syah I) yang wafat Pada tahun 1508 M. setelah meninggal beliau lebih dikenal sebagai Poteumeureuhom Daya, dan di makamkan di atas sebuah bukit di tepi pantai yang bernama “Glee Njong” (kira-kira 100 m dari tepi laut). Pada batu nisan Poteumeureuhom Daya tertulis “Sulthan Salatin Alaidin Ri’ayah Syah bin Inayatsyah bin Abdullah Al-Malikul Mubin”. Kerajaan Daya berdiri sendiri hingga pada saat Kerajaan Aceh Darussalam diperintah oleh Sulthan Syamsu Syah (902-916 M) Kerajaan Daya berpusat kembali kepada Kerajaan Aceh Darussalam. Pada masa inilah terjadi pernikahan antara Raja Muda Ali Mughayat Syah dengan puteri Hur dari Kerajaan Daya. Dari pernikahan ini lahirlah Salahuddin dan Ri’ayah Syah yang keduanya akan menjadi Sulthan Aceh dikemudian hari. Mengenai proses terbentuknya Kerajaan Daya ada beberapa pendapat, diantaranya: 1. Datangnya rombongan orang-orang Islam dari Arab ke kuta dalam Kuala Daya dibawah pimpinan Uzir. 2. Seorang yang bernama Sulthan Salatin Ri’ayah Syah datang ke Lamno Daya dari Aceh. Beliau menaklukkan Kerajaan Hindu Lamno dan Kerajaan Hindu Keuluang. Sesudah kedua Kerajaan ini dapat ditaklukkan dan dikuasai, Sulthan Salatin Ri’ayah Syah membina sebuah Kerajaan Islam yang berpusat di Lam Kuta (Kuta Dalam) kuala Daya. Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Uzir dan Sulthan Salatin adalah dua nama untuk satu orang, yaitu Poteumeureuhom Daya. Benda-benda peninggalan seperti silsilah Sulthan, pedang peninggalan Sulthan, dan benda-benda upacara lainnya sampai hari masih tersimpan pada ahli waris Poteumeureuhom Daya. c. Daya Pada Masa Kedatangan Portugis. Sesudah Portugis mendapat jalan ke timur dan tiba di Malaka pada tahun 1511 terjadilah perdagangan antara orang-orang Aceh (termasuk Lamno) dengan Portugis. Pada tahap pertama hubungan dagang ini berjalan dengan baik, orang-orang Portugis diberi kesempatan untuk mendarat dan berdagang di daerah Lamno. Akibat dari adanya hubungan baik ini memungkinkan terjadinya percampuran darah antara orang-orang Portugis dengan penduduk Lamno. Di Lamno juga beredar mata uang Portugis yang disebut “Ringgit Patong Cut”. Namun, pada tahap-tahap selanjutnya semakin tampaklah usaha Portugis untuk menguasai Aceh, sejak masa ini penduduk Lamno tidak lagi memberi kesempatan kepada Portugis untuk berlabuh di daerahnya. d. Daya Pada Masa Kerajaan Aceh. Lamno setelah dipersatukan kedalam Kerajaan Aceh berada dalam posisi yang stabil, baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial. Hal ini memungkinkan Lamno untuk membangun daerahnya dalam berbagai sektor. Sebagai contoh, dalam sektor pertanian, yaitu penanaman lada yang mengalami kemajuan pesat, sehingga pada masa Sulthan Iskandar Muda berkuasa Lamno dijadikan salah satu pelabuhan export dari Kerajaan Aceh. Lamno merupakan Kerajaan yang setia terhadap pusat, hal ini dibuktikan dengan pada masa Kerajaan Aceh mengalami masa kemunduran mereka tidak memisahkan diri dari Kerajaan Aceh, bahkan mereka terus membantu Kerajaan Aceh untuk bertahan dengan mempertahankan pelabuhan export yang ditetapkan pada masa Sulthan Iskandar Muda, dengan bertahannya pelabuhan Lamno maka dana yang besar dari hasil export masih terus mengalir ke pusat. 3. Kerajaan Pidir. a. Pendahuluan Negeri Pidir/Pidie/Syahir Poli merupakan daerah dataran rendah indah, luas dan subur. Letaknya di sebelah timur berbatasan dengan Kerajaan Samudra Pasai, di sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Aceh Darussalam, di sebelah utara berbatasan dengan lautan (pintu Selat Malaka), dan di sebelah selatan berbatasan dengan deretan Bukit Barisan. Penduduk asli daerah itu adalah pecahan dari suku Mon Khmer yang datang dari Asia tengan, kemudian bercampur dengan suku-suku dari ras lainnya. Pembangun pertama (beberapa abad S.M) ialah rombongan Mon Khmer yang diketuai oleh “Syahir Pauling” dari Campa/Indo-Cina, yang lebih terkenal sebagai Syahir Poli dan Pidie. Dari awal abad ke-6 Sejarah Dinasti Liang sudah bayak membicarakan mengenai Kerajaan Poli, dikatakan Raja beragama Buddha dan telah mengirim utusan ke istana raja-raja Liang pada tahun 518 M. Menurut kesaksian-kesaksian Portugis yang pertama singgah kira-kira sekitar tahun 1509, Pidir dan Pasai pada awal abad ke-16 mengekspor lada dalam jumlah besar ke Cina dan ke tempat-tempat lain Tomé Pires berkata bahwa “Pidir dahulu kala menguasai pintu masuk ke selat-selat, memegang seluruh perniagaan dan lebih ramai didatangi daripada Paçée”; namun para pedagang (“mercadores de todas naçoes”) masih juga berdatangan; menurut perhitungan, pelabuhannya disinggahi setiap tahun oleh dua kapal dari Kambay dan dari Bengalla, satu kapal dari “Benua Quelin , satu lagi dari Pegu. Barang ekspor utama adalah lada; “selama empat tahun belakangan ini, hanya ini 1 sampai 3.000 bahar setahun yang terdapat di Pidir, tidak lebih”, sedangkan dahulunya ada 10.000 bahar dan menurut sementara orang bahkan 15.000 sutera putih dan menyan juga diekspor; emas didatangkan dari pedalaman. 2. Pidir Pra-Islam Maharadja Syahir Poli membangun sebuah Kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama Indra”, agama mereka adalah Buddha, dan tidak mustahil dikemudian hari agama Hindu masuk kedalam masyarakat. Namun, lama-kelamaan Kerajaan ini pun pecah menjadi beberapa bagian, seperti pecahnya Kerajaan Indra Purba (Lamuri) kepada Indra Puri, Indra Patra, Indra Purwa, dan Indra Jaya (Panton Bie/Kantoli=Seudu). Dikemudian hari Kerajaan Sama Indra (Pidir), Kerajaan Indra Purba (Lamuri), dan Kerajaan Plak-Plieng (Kerajaan Panca Warna) menjadi saingan, mereka tidak lagi bersatu, hingga pada saat Pidir bergabung dengan Kerajaan Aceh Darussalam keadaan kembali stabil. 3. Pidir dari Masa Masuknya Islam. Menjelang pertengahan abad ke VIII.H (pertenghan abad ke XIV.M) Kerajaan Hindu-Buddha di daerah Syahir Poli berubah menjadi Kerajaan Islam yang disebabkan oleh serangan Kerajaan Aceh Darussalam yang dilancarkan oleh Sulthan Mansyur Syah I (755-811.H/1354-1408.M). Pada masa Sulthan Mahmud II Alaiddin Jauhan Syah (1408-1465.M) ajaran Islam mengalir secara merata hingga ke pelosok-pelosok daerah Pidir. Beliau mengikis habis mengikis habis ajaran-ajaran Hindu-Buddha di daerah tersebut, dan beliau menertibkan masyarakat daerah tersebut dengan ajaran-ajaran Islam. Bahkan pada masa ini rakyat daerah pidir ikut membantu Kerajaan Samudra Pasai yang kala itu sedang menghadapi serangan dari Kerajaan Majapahit. Selanjutnya Sulthan Mahmud II Alaiddin Jauhan Syah mengangkat putera mahkota Kerajaan Aceh yang bernama Raja Husain Syah untuk menjadi Sulthan muda di negeri Pidir dengan pangkat dan gelar : “Maharaja Pidie Laksemana Raja”, dengan mendapat hak otonomi penuh dan hak keistimewaan tiap-tiap Maharaja Pidir dan dicantumkan dalam Dustur Kerajaan Aceh (Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam Ahlussunnah wal Jama’ah). Yaitu sebagai berikut: Setiap keputusan Balai Majelis Mahkamah Rakyat Kerajaan Aceh Darussalam yang mengenai luar Aceh Darussalam, Sulthan Tidak memberi Cap Geulantёu (Cap Halilintar) sebelum mendapat persetujuan dari Laksemana Maharaja Pidie. Maharaja Pidie dan lain-lain Béntara (Uléebalang Chik) dalam Kerajaan Aceh berhak mengatur daerah kekuasaannya menurut putusan Balai Rakyat negeri masing-masing. Pengertian ini dirumuskan dalam kata simbolik rakyat Aceh yang berbunyi: “Adat bak Poteu Meureuhom, (Sulthan-Sulthan Aceh) Hukôom bak Syiah Kuala, (Alim Ulama) Kanun bak Putroё Phang, (Permaisuri Iskandar Muda) Reusam bak Lakseumana.” (Laksemana Raja Maharaja Pidie ) Setelah Sulthan Mahmud II Alaiddin Jauhan Syah wafat, Radja Husain Syah (Maharaja Pidie) diangkat menjadi Sulthan Kerajaan Aceh (870-885.H/1465-1480.M). Pada masa pemerintahan Beliaulah negeri-negeri di utara pulau Sumatera bersatu atas nama Kerajaan Aceh, yaitu: negeri Pidir, Merdu, Samalanga, Jeumpa (Peusangan), Lingga dan Isak (Aceh Tengah), Samudra Pasai, Teumiёng, Indra (Alas) dan Indra Daya (Daya). Daftar Referensi  Sufi, Rusdi. 2006. Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh.  Said, Mohammad. 2009. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Harian Waspada.  Jamil, M. Yunus. Tawarich Radja2 Kerajaan Aceh  Sejarah Daya/Lamno. Perpustakaan A. Hasjmy  Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).