Kita sering mendengar perkataan Iman atau Ibadah, tapi masih banyak yang bingung atau tidak mengetahui apa definisi dari kedua hal tersebut, dan adakah keterkaitan diantara keduanya? Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai hal-hal ini. Tidak hanya sebatas itu, kami juga akan membahas mengenai etika seorang muslim dalam segala aspek kehidupan. Dewasa ini, Islam sudah sangat menyebar luas, namun banyak hal-hal yang sudah mulai dilupakan pada pergaulan diantara sesame muslim. Dunia yang sudah sangat mengglobal turut andil dalam perubahan etika umat muslim pada saat ini, dunia Islam bahkan sudah terkena pengaruh barat dalam pergaulan diantara sesama muslim. banyak orang-orang muslim yang tidak mengetahui bagaimana pergaulan didalam Islam yang sesungguhnya. Maka dari pada itu kami dari pemakalah menganggkat etika diantara sesama muslim agar kita kembali ke ajaran agama kita.
BAB II
PEMBAHASAN
Iman
A. Pengertian Iman
Kata iman secara etimologi adalah masdar dari kata aamana, yu’minu, imaanan, fahwa Mukminun yang diambil dari kata al-amnu. Al-Jauhari, Ibnu Mandur, Ar-Razi berkata, “Iman artinya percaya.” Namun, Ibnu Tamiyah mengkritik pemaknaan iman dengan kepercayaan dan menyanggah mereka dari banyak sisi. Beliau melihat bahwa makna yang paling dekat dengan keimanan adalah iqrar (pernyataan). Sedangkan secara terminology Ahlu sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, yaitu perkataan dengan lisan dan perbuatan dengan hati dan anggota badan. Iman adalah amal, pernyataan dengan lisan dan keyakinan. Ini adalah pendapat Muktazilah, pendapat seperti ini sama dengan pendapat Ahlu sunnah wal Jama’ah, tetapi Muktazilah menjadikan amal perbuatan sebagai syarat dalam sahnya keimanan. Sedangkan Ahlu sunnah wal Jama’ah menjadikan amal sebagai syarat kesempurnaannya secara mutlak.
B. Pokok Iman
Pokok iman terbagi tiga, yaitu: Iman ilahiyat (iman yang berkaitan dengan Allah). Iman Nabawiyyat (iman yang berkaitan dengan semua nabi). Dan Iman Sam’iyyat (iman yang berkaitan dengan mendengar firman Allah dan sabda Rasulullah saw). Ibadah Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut terminology abadah mempunyai banyak definisi, antara lain:
1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin. Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman: “dan Aku tidak menciptakan melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak mengkehendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak mengkehendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha pemberi rizki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh”. (Adz-Dzaariyaat : 56-58) Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan). Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus disertai dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsure-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin: “Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya”. (Al-Maaidah: 54)”. “Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah”. (Al-Baqarah: 165) “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami”. (Al-Anbiya: 90) Hubungan Iman dengan Ibadah Berdasarkan penjelasan sebelumnya kita dapat menemukan hubungan antara iman dengan ibadah, tanpa adanya iman seorang mukalaf tidak mungkin melaksanakan ibadah, karena iman adalah dasar dari agama. Maka seseorang yang beriman, maka pastilah ia akan melaksanakan ibadah. Iman adalah perkataan dan perbuatan, yaitu perkataan dengan lisan dan perbuatan dengan hati dan anggota badan. Berdasarkan pengertian ini dapat kita tarik kesimpulan dengan adanya iman maka seseorang akan melakukan Ibadah, karena keimanan seseorang baru lengkap apabila seseorang itu tidak hanya menyatakan dengan lisan dan membenarkan dengan hati, tapi juga harus disertai dengan amal perbuatan (Ibadah). Kita juga dapat melihat keterkaitan antara Iman dan ibadah pada sabda Rasulullah saw: “Iman itu berkisaran antara tujuh puluhan atau delapan puluhan bahagian, yang paling tinggi mengucapkan lailahailallah, dan yang paling rendah dari iman adalah membuang duri dari jalan. Dan malu itu adalah salah satu dari iman”. Membuang duri dijalan juga merupakan ibadah. Dan kita tidak beribadah selain pada-Nya, ini merupakan perwujudan dari kalimat lailahailallah. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah selain kepada Allah adalah kesyirikan. Allah berfirman : “Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya”. (Az-Zumar: 2)
Etika/Moral dalam Segala Aspek Kehidupan
1. Etika terhadap Allah Manusia dapat melihat kedalam dirinya nikmat-nikmat yang Allah berikan, yang tidak bisa dikalkulasikan sejak ia diciptakan hingga ia kembali menghadap Allah Ta’ala. Oleh karena itu, manusia harus bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat yang diberikan kepadanya. Allah berhakmendapat sanjungan dan manusia bersyukur dengan anggota badannya dengan dengan menggunakan anggota badannya dalam ketaatan pada-Nya. Ini adalah etika terhadap Allah Ta’ala, sangatlah tidak etis apabila manusia mengingkari nikmat, menentang keutamaan Pemberi nikmat, memungkiri-Nya, memungkiri kebaikan-Nya, dan memungkiri nikmat-nikmat-Nya. Allah berfirman: “Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak dapat menentukan jumlahnya.” (An-Nahl: 18). Rasa terima kasih manusia terhadap Allah Ta’ala atas nikmat-nikmat-Nya, rasa malunya kepada Allah jika ia cenderung bermaksiat kepada-Nya, bertaubat dengan benar, bertawakal terhadap Allah, mengharapkan rahmat-Nya, takut akan siksa-Nya, berbaik sangka bahwa Allah Ta’ala pasti menepati janji-Nya, dan berbaik sangka bahwa Allah akan melaksanakan ancaman-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya adalah etikanya terhadap Allah. Semakin ia konsisten dengan etika tersebut dan menjaganya, derajatnya semakin tinggi, kedudukannya melangit, dan kemuliaannya agung hingga kemudian ia berhak mendapatkan perlindungan Allah, pemeliharaan-Nya, kucuran rahmat-Nya, dan sasaran nikmat-Nya.
2. Etika Terhadap Al-Qur’an Seorang muslim harus beriman kepada kesucian Allah, kemuliaan-Nya, keutamaan-Nya atas semua ucapan, dan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang tidak ada kebatilan di depan dan di belakangnya. Barangsiapa yang berkata dengannya, ia akan dipercaya, dan barangsiapa yang mengamalkannya, ia bisa bersikap adil. Seorang muslim harus konsisten dengan adab dan akhlak dalam membaca Al-qur’an, dalam membaca Al-Qur’an ia harus mematuhi etika-etika berikut:
a. Ia membacanya dalam kondisi yang paling sempurna, misalnya dalam keadaan bersih, enghadap kiblat, dan duduk dengan santun.
b. Ia membacanya dengan tartil, tidak tergesa-gesa, dan tidak mengkhatamkannya kurang dari tiga malam, karena Rasulullah bersabda: “Barangsiapa mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga malam, ia tidak akan memahaminya.” (diriwayatkan oleh semua penulis Sunnah dan di shahihkan At-Tirmidzi).
c. Khusyu’ dalam membacanya, memperlihatkan kesedihan, dan menangis, atau pura-pura menangis jika ia tidak bisa menangis, karena Rasulullah s.a.w berasabda: “Bacalah Al-Qur’an dalam keadaan menangis. Jika tidak bisa menangis, maka pura-puralah menangis.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah).
d. Memperindah suaranya ketika membaca Al-Qur’an, Rasullah bersabda: “Hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalian.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, An-Nasai, dan Al-Hakim).
e. Merahasiakan tilawahnya, jika ia khawatir jatuh dalam riya, atau mengganggu orang yang shalat, Rasulullah bersabda: “Orang yang mambaca Al-Qur’an dengan terang-terangan itu seperti orang yang bersedekah dngan terang-terangan.” (Diriwayatkan oleh, At-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Daud, dan Ahmad).
f. Ketika ia membaca Al-Qur’an, ia tidak termasuk orang-orang yang melalaikan atau menentangnya, sebab sikap seperti itu bisa jadi menyababkan ia mengutuk dirinya sendiri, Allah berfirman: “Laknat allah bagi orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-A’raaf: 44).
g. Berusaha keras bersifatkan sifat-sifat orang-orang yang dikasihi Allah, dan orang-orang pilihan-Nya. 3. Etika Terhada Rasulullah S.A.W Etika terhadap Rasulullah s.a.w adalah sebagai berikut: a. Taat kepada Rasulullah, menapaktilasi jejaknya, dan meneliti jalannya dalam seluruh jalan dunia, dan akhirat. b. Cinta kepada Rasulullah, hormat kepadanya, dan pengagungan kepadanya harus didahulukan daripada cinta kepada yang lain, hormat kepada yang lain, dan pengagungan kepada yang lain, siapapun orangnya. c. Mencintai siapa saja yang dicintai Rasulullah, memusuhi siapa saja yang dimusuhi beliau, ridha dengan apa saja yang diridhainya, dan marah kepada apa yang dimarahi beliau. d. Mengagungkan nama Rasulullah, menghormatinya ketika namanya disebutkan, mengucapkan shalawat dan salam untuknya, dan menghormati seluruh kelebihannya. e. Membenarkan apa yang dijelaskan Rasulullah tentang persoalan dunia, dan masalah-masalah ghaib di kehidupan dunia dan akhirat. f. Menghidupkan sunnah Rasulullah, memenangkan syari’atnya, menyampaikan dakwahnya, dan melaksanakan wasiat-wasiatnya. g. Merendahkan suara dikuburannya, dan masjidnya bagi orang yang mendapatkan kehormatan bisa menziarahi kuburannya. h. Mencintai orang-orang shalih, loyal kepada mereka karena kecintaan Rasulullah kepada mereka, marah kepada orang-orang fasik, dan memusuhi mereka, karena kemarahan beliau kepada mereka. 4. Etika Terhadap Diri Sendiri Setiap muslim meyakini bahwa kebahagiaannya di dunia, dan akhirat sangat ditentukan oleh sejauh mana pembinaan terhadap dirinya, perbaikan dirinya, dan penyucian dirinya. Allah berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jaiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10). Setiap muslim tidak henti-hentinya membina dirinya, menyucikannya, dan membersihkannya, sebab ia orang yang paling banyak membinanya, kemudian memperbaikinya dengan etika-etika yang membersihkannya, dan menyucikannya. Dalam memperbaiki dirinya, membinanya, dan membersihkannya, seorang muslim dapat menempuh jalan-jalan berikut:
Taubat, yaitu melepaskan diri dari semua dosa dan kemaksiatan, menyesali semua dosa-dosa masa lalunya, dan bertekat tidak kembali kepada dosa di sisa-sisa umurnya.
Muraqabah, yaitu seorang muslim mengkondisikan dirinya merasa diawasi oleh Allah setiap waktu dalam kehidupannya hingga akhir kehidupannya. Muhasabah, yaitu evaluasi diri.
Mujahadah, yaitu perjuangan, yang dimaksud perjuangan disini adalah perjuangan melawan hawa nafsu. 5. Etika Terhadap Manusia a. Etika terhadap orang tua seorang muslim harus menjaga etikanya terhadap orang tuanya, berikut ini etika-etika yang harus seorang muslim lakukan terhadap orang tuanya: Taat kepada kedua orang tua dalam setiap perintah dan larangannya, selama di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan kepada Allah, dan pelanggaran terhadap syari’at-Nya. Hormat dan menghargai kedua orang tuanya.
Berbakti kepada keduanya.
Menyambung hubungan kekerabatan, mando’akannya, dan memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji (wasiat), dan memuliakan teman-teman keduanya. b. Etika terhadap anak-anak Orang Islam mengakui bahwa anak-anak mempunyai hak-hak atas orang tuanya dan hak-hak tersebut wajib ditunaikan oleh orang tua, dan mereka mempunyai etika yang harus diperhatikan dalam hubungannya dengan anak-anaknya. Diantara hak-hak anaka atas orang tuanya ialah menamakannya dengan nama yang baik, menyembelih kambing pada hari ketujuh klahirannya, mengkhitannya, mengasihinya, lemah-lembut terhadapnya, menafkahinya, mendidiknya dengan baik, serius mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepadanya, melatihnya mengerjakan ibadah-ibadah wajib dan sunnah, menikahkannya jika ia sudah mencapai usia baligh. Firman Allah: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 233). c. Etika terhadap saudara Orang Muslim mengakui bahwa etika terhadap saudara itu sama persis dengan etika terhadap orang tua dan anak. Etika adik terhadap kakaknya sama persis dengan etika seorang anak terhadap orang tuanya. Rasulullah bersabda: “Berbaktilah kepada ibumu, ayahmu, saudara perempuan dan saudara laki-lakimu, kemudian kepada yang ada dibawahmu secara berurutan.” d. Etika suami-istri Orang muslim meyakini adanya etika timbale balik antara suami dan istri, etika tersebut antara lain, Amanah, cinta kasih, saling percaya, etika umum, seperti lemah lembut dalam pergaulah sehari-hari, wajah yang berseri-seri, ucapan yang baik, penghargaan dan penghormatan. e. Etika terhadap sanak kerabat Orang muslim menjalankan etika-etika terhadap sanak kerabat sama denganetika-etika yang mereka jalankan terhadap orang tua, anak-anak, dan saudara-saudaranya. Ia memperlakakukan bibi dan pamannya sama seperti perlakuannya terhadap orang tuanya sendiri. Untuk itu, ia menghormati orang-orang diantara sanak kerabatnya, menyayangi anak-anak kecil dari sanak kerabatnya, menjenguk siapa saja yang sakit diantara mereka, memberi bantuan kepada siapa saja yang mendapat musibah, dan ramah terhadap mereka walaupun mereka menzaliminya. f. Etika terhadap tetangga Orang muslim meyakini bahwa tetangga mempunyai hak-hak atas dirinya, dan etika-etika yang harus dijalankan seseorang terhadap mereka, berdasarkan Firman Allah: “Dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat tetangga yang jauh. (QS. An-Nisa: 36). Etika terhadap tetangga adalah tidak menyakitinya dengan ucapan, berbuat baik kepadanya dengan menolongnya apabila ia meminta pertolongan, membantunya jika ia membutuhkan bantuan, menjenguknya jika ia sakit, mengucapkan selamat kepadanya jika ia bahagia, bersikap dermawan dengan memberikan kebaikan kepadanya, dan menghormati dan menghargainya dengan tidak melarangnya meletakkan kayu di temboknya. g. Etika terhadap muslim lainnya Mengucapkan salam Jika seorang muslim bersin dan membaca alhamdulillah, maka do’akanlah ia dengan berkata, “Yarmukallahu” (mudah-mudahan Allah merahmatimu). Kemudian orang yang bersin berkata, “Yagfirullahu li wa laka” (semoga Allah memberikan ampunan kepadaku dan kepadamu. Atau ia berkata, “Yahdikumullahu wa yushlihu balakum” (semoga Allah memberi petunjuk kepadamu, dan memperbaiki hatimu). Menjenguknya jika ia sakit, dan mendo’akan kesembuhan baginya. Menyaksikan jenazah tetangganya jika ada yang meninggal dunia. Rasulullah bersada: “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: menjawab salamnya, menjenguk orang sakit, mengantar jenazahnya, memenuhi undangan, dan mendo’akan orang yang bersin.” (Muttafaq Alaih). Tidak menimpakan keburukan kepadanya. Rendah hati, tidak sombong. Tidak mendiamkannya lebih dari tiga hari. Tidak mengunjingnya, tidak menghinanya, tidak mencacinya, tidak melecehkannya, tidak menggelarinya dengan gelar yang tidak baik. Ia tidak dengki kepadanya, atau berprasangka buruk terhadapnya, atau membuatnya marah, atau mencari-cari kesalahannya. Tidak menipunya.tidak menghianatinya, atau mendustakannya, atau menunda pembayaran hutangnya. BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Iman adalah perkataan dan perbuatan, yaitu perkataan dengan lisan dan perbuatan dengan hati dan anggota badan. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi. Hubungan iman dan ibadah adalah tanpa adanya keimanan pada diri seseorang maka tidak mungkin ia akan melaksanakan ibadah. Abidin, S.A. Zainal. 2001. Kunci Ibadah. Semarang: Karya Toha Al-Jazairi, Abu Bakr Jabir. 2000. Ensiklopedi Muslim. Terjemahan oleh Bahri Fadli dari Minhajul Muslim (Tanpa Tahun). Jakarta: Darul Falah. Al-Qahthani, Said bin Musfir. 2003. Buku Putih Syaik Abdul Qadir Al-Jaliani. Terjemahan oleh Abidin Munirul dari Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jaliani wa Ash-Shufiyah (Tanpa Tahun). Jakarta: Darul Falah. (http://abuafif.wordpress.com/2007/08/09/pengertian-ibadah-dalam-islam., diakses 18 april 2011).
Sunday, 28 April 2013
Keadaan Masyarakat Aceh pada Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Ini adalah wawancara langsung yang saya lakukan bersama teman kuliah saya mengenai keadaan Masyarakat Aceh pada zaman penjajahan,,, banyak cerita yang tidak dituliskan dalam buku-buku sejarah, sehingga wawancara langsung yang dilakukan sangat dapat menambah pengetahuan kita, sumber yang kami wawancara bernama Musalla, tulisan ini menggunakan sumber primer.
Keadaan Aceh pada masa penjajahan Belanda tidaklah seburuk pada masa penjajahan Jepang. Pada masa penjajahan Belanda, masyarakat Aceh masih memiliki kebebasan dalam segala segi kehidupan. Pada masa penjajahan Belanda, pasukan Belanda hanya berkonsentrasi pada daerah perkotaan saja dan sangat jarang masuk ke daerah pedalaman. Hal ini berbeda dengan masa penjajahan Jepang dimana para serdadu masuk hingga ke pelosok-pelosok pedesaan dengan membawa senjata sehingga membuat masyarakat pedesaan merasa hidup dalam tekanan. Masyarakat Aceh pada zaman penjajahan Belanda masih dapat dikatakan hidup layaknya manusia. Mereka bekerja seperti menanam padi di sawah (meugoё), beternak, menganyam daun rumbia, dan lain-lain. Dalam sistem jual-beli masyarakat menggunakan mata uang logam dan tidak mengenal adanya uang kertas. Pada masa penjajahan Belanda masyarakat Aceh sudah mengenal adanya pendidikan. Namun, pendidikan formal hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan (uleѐ balang) dan anak-anak para ulama, tidak untuk masyarakat umum. Pada masa dahulu setiap kampung hanya memiliki satu meunasah (surau), satu teungku, satu geuchik dan satu wakim (wakil mukim). Kegiatan keagamaan dilakukan di meunasah dengan teungku sebagai gurunya. Di sana anak-anak mempelajari sifat dua puluh, do’a dan tata cara sembahyang, serta kitab-kitab. Namun, pengajian Al-Qur’an tidak dilakukan di meunasah melainkan di rumah. Meskipun penjajahan yang dilakukan oleh Belanda tidaklah terlalu kejam seperti halnya yang dilakukan Jepang, masyarakat Aceh tetap tidak mau hidup dibawah penjajahan, mereka mengadakan perlawanan dengan menggunakan peralatan seadanya, yaitu tombak dan pisau panjang (parang). Pada awal masa kedatangan Jepang, Jepang memperlakukan masyarakat dengan cara yang sangat baik. Mereka masuk ke perkampungan dan menawarkan untuk membeli hasil-hasil peternakan dan perkebunan warga dengan harga yang tinggi dengan tujuan untuk menarik simpati warga. Namun, pada tahun-tahun berikutnya masyarakat Aceh mulai diperlakukan dengan sangat keji. Masyarakat mulai dilarang beraktivitas di luar kampung. Mereka menahan para lelaki yang hendak keluar dari kampung dengan memasukkan mereka ke dalam bubee busoe (Kurungan besi) dan mengancam akan memenggal kepala mereka. Menurut isu yang menyebar pada masa itu, Jepang telah memenggal seseorang yang berada di daerah Lantim dan memasukkannya kedalam sumur. Di tubuh korban ditancapkan kayu yang runcing agar mayatnya tetap berada didalam sumur tersebut. Saat ini sumur itu telah tertutup oleh tanah. Sedangkan perempuan pada masa Jepang tidak ditahan, mereka hanya dilarang beraktivitas di luar rumah. Para pemuda biasanya bersembunyi, karena apabila ditangkap oleh Jepang mereka akan dimasukkan ke dalam bubee busoe (kurungan besi). Pada masa penjajahan Jepang, kebebasan rakyat sepenuhnya telah dirampas, Masyarakat tidak lagi diperbolehkan untuk bertani atau melakukan pekerjaan lain sehingga mereka mulai mengalami kelaparan. Bahkan masyarakat mulai mencuri beras dari orang lain yang masih mempunyainya demi kebutuhannya dan keluarganya. Tidak hanya sampai disitu, Jepang juga mendirikan pagar-pagar kayu yang sangat tinggi di daerah-daerah dekat persawahan sehingga keadaan semakin memburuk, masyarakat benar-benar mengalami kelaparan. Untuk mempertahankan hidupnya masyarakat hanya memakan buah nangka dan buah pepaya muda yang diperoleh dari kebun, kemudian direbus dan dimakan dengan nasi jika ada. Namun, apabila nasi tidak tersedia masyarakat menggantinya dengan sagu. Tidak jarang mereka makan hanya sekali dalam sehari. Terkadang mereka juga minum kopi yang disajikan dengan pisang rebus yang ditaburi kelapa diatasnya. Masyarakat di bawah penjajahan Jepang tidak mempunyai pakaian yang layak, mereka mengenakan karung beras (karung goni) yang dijadikan sebagai celana dan baju. Pakaian tersebut sangat tidak nyaman karena banyak kutu tinggal di dalamnya. Untuk berlindung dari pasukan Jepang yang sedang berperang dan terhindar dari tembakan atau peluru nyasar, rakyat menggali parit atau lubang pertahanan yang mampu menampung seluruh warga kampung. Parit ini memiliki kedalaman kira-kira setinggi badan orang dewasa. Bagian atas parit ini ditutup dengan papan, batang kelapa dan ditambahkan tanah diatasnya sehingga menjadi seperti gua. Ketika Jepang meninggalkan daerah Aceh mereka meninggalkan pakaian mereka, pakaian inilah yang kemudian diambil oleh warga kampung untuk dijadikan pakaian.
Keadaan Aceh pada masa penjajahan Belanda tidaklah seburuk pada masa penjajahan Jepang. Pada masa penjajahan Belanda, masyarakat Aceh masih memiliki kebebasan dalam segala segi kehidupan. Pada masa penjajahan Belanda, pasukan Belanda hanya berkonsentrasi pada daerah perkotaan saja dan sangat jarang masuk ke daerah pedalaman. Hal ini berbeda dengan masa penjajahan Jepang dimana para serdadu masuk hingga ke pelosok-pelosok pedesaan dengan membawa senjata sehingga membuat masyarakat pedesaan merasa hidup dalam tekanan. Masyarakat Aceh pada zaman penjajahan Belanda masih dapat dikatakan hidup layaknya manusia. Mereka bekerja seperti menanam padi di sawah (meugoё), beternak, menganyam daun rumbia, dan lain-lain. Dalam sistem jual-beli masyarakat menggunakan mata uang logam dan tidak mengenal adanya uang kertas. Pada masa penjajahan Belanda masyarakat Aceh sudah mengenal adanya pendidikan. Namun, pendidikan formal hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan (uleѐ balang) dan anak-anak para ulama, tidak untuk masyarakat umum. Pada masa dahulu setiap kampung hanya memiliki satu meunasah (surau), satu teungku, satu geuchik dan satu wakim (wakil mukim). Kegiatan keagamaan dilakukan di meunasah dengan teungku sebagai gurunya. Di sana anak-anak mempelajari sifat dua puluh, do’a dan tata cara sembahyang, serta kitab-kitab. Namun, pengajian Al-Qur’an tidak dilakukan di meunasah melainkan di rumah. Meskipun penjajahan yang dilakukan oleh Belanda tidaklah terlalu kejam seperti halnya yang dilakukan Jepang, masyarakat Aceh tetap tidak mau hidup dibawah penjajahan, mereka mengadakan perlawanan dengan menggunakan peralatan seadanya, yaitu tombak dan pisau panjang (parang). Pada awal masa kedatangan Jepang, Jepang memperlakukan masyarakat dengan cara yang sangat baik. Mereka masuk ke perkampungan dan menawarkan untuk membeli hasil-hasil peternakan dan perkebunan warga dengan harga yang tinggi dengan tujuan untuk menarik simpati warga. Namun, pada tahun-tahun berikutnya masyarakat Aceh mulai diperlakukan dengan sangat keji. Masyarakat mulai dilarang beraktivitas di luar kampung. Mereka menahan para lelaki yang hendak keluar dari kampung dengan memasukkan mereka ke dalam bubee busoe (Kurungan besi) dan mengancam akan memenggal kepala mereka. Menurut isu yang menyebar pada masa itu, Jepang telah memenggal seseorang yang berada di daerah Lantim dan memasukkannya kedalam sumur. Di tubuh korban ditancapkan kayu yang runcing agar mayatnya tetap berada didalam sumur tersebut. Saat ini sumur itu telah tertutup oleh tanah. Sedangkan perempuan pada masa Jepang tidak ditahan, mereka hanya dilarang beraktivitas di luar rumah. Para pemuda biasanya bersembunyi, karena apabila ditangkap oleh Jepang mereka akan dimasukkan ke dalam bubee busoe (kurungan besi). Pada masa penjajahan Jepang, kebebasan rakyat sepenuhnya telah dirampas, Masyarakat tidak lagi diperbolehkan untuk bertani atau melakukan pekerjaan lain sehingga mereka mulai mengalami kelaparan. Bahkan masyarakat mulai mencuri beras dari orang lain yang masih mempunyainya demi kebutuhannya dan keluarganya. Tidak hanya sampai disitu, Jepang juga mendirikan pagar-pagar kayu yang sangat tinggi di daerah-daerah dekat persawahan sehingga keadaan semakin memburuk, masyarakat benar-benar mengalami kelaparan. Untuk mempertahankan hidupnya masyarakat hanya memakan buah nangka dan buah pepaya muda yang diperoleh dari kebun, kemudian direbus dan dimakan dengan nasi jika ada. Namun, apabila nasi tidak tersedia masyarakat menggantinya dengan sagu. Tidak jarang mereka makan hanya sekali dalam sehari. Terkadang mereka juga minum kopi yang disajikan dengan pisang rebus yang ditaburi kelapa diatasnya. Masyarakat di bawah penjajahan Jepang tidak mempunyai pakaian yang layak, mereka mengenakan karung beras (karung goni) yang dijadikan sebagai celana dan baju. Pakaian tersebut sangat tidak nyaman karena banyak kutu tinggal di dalamnya. Untuk berlindung dari pasukan Jepang yang sedang berperang dan terhindar dari tembakan atau peluru nyasar, rakyat menggali parit atau lubang pertahanan yang mampu menampung seluruh warga kampung. Parit ini memiliki kedalaman kira-kira setinggi badan orang dewasa. Bagian atas parit ini ditutup dengan papan, batang kelapa dan ditambahkan tanah diatasnya sehingga menjadi seperti gua. Ketika Jepang meninggalkan daerah Aceh mereka meninggalkan pakaian mereka, pakaian inilah yang kemudian diambil oleh warga kampung untuk dijadikan pakaian.
Van Peursen
Kebudayaan lahir dan hidup bersama masyarakat manusia, masyarakat menjadi wadahnya dan manusia yang melahirkannya. Kroeber dan Clyde Kluckhon dalam Notowidagdo (1997:25), kebudayaan adalah keseluruhan hasil perbuatan manusia yang bersumber dari kemauan, pikiran dan perasaannya. Bakker (1994: 22) mengemukakan kebudayaan adalah penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani. Gazalba (1973:59) berpendapat, kebudayaan ialah cara berpikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan suatu waktu. Berkiblat dari pemikiran di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kebudayaan (dalam arti luas) adalah hasil budi manusia yang bersumber dari cipta, rasa dan karsanya dalam suatu ruang dan waktu; kebudayaan (dalam arti sempit) adalah hasil budi manusia yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu. Dengan demikian kebudayaan pada dasarnya sangat kompleks karena bukan hanya terbatas pada hasil budi sekelompok sosial manusia yang menempati ruang/tempat tertentu dan atau hasil karya seni pisik/bendawi yang hanya dapat diindera seperti: seni pahat, lukisan, tarian, pakaian atau bangunan khas (suatu daerah), tetapi lebih dari itu kompleks ide/gagasan, adat kebiasaan, norma, kepercayaan, dan nilai-nilai insani yang lain dalam kehidupan masuk dalam lingkaran kebudayaan.
A. Bagan kebudayaan
Prof. Dr. C. A. Van Peursen mencetuskan Bagan Tiga Tahap Kebudayaan. Adapun ketiga tahap dalam bagan ini ialah:
1. Tahap mitis,
2. Tahap ontologism, dan
3. Tahap fungsionil.
Yang dimaksudkan dengan tahap mitis ialah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif. Dimana dalam kebudayaan modern pun sikap mitis ini masih terasa.
Orang menyebut budaya yang lama dengan istilah ”primitif”. Kendati sebutan itu menurut Peursen sudah tidak relevan lagi. Karena, menurutnya, dunia alam pikirannya mengandung suatu filsafat yang dalam, gambaran yang ajaib dan adat istiadat yang beragam. Runutan epistemologis akan menemukan kata mitos dari kata mitis ini, kata mitos sendiri berarti sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu untuk sekompok orang. Mitos biasanya diturunkan oleh pendahulu dan akan diteruskan lagi. Begitulah kemudian akhirnya sebuah mitos bergulir dari jaman ke jaman. Cerita atau tuturan penurunan ini dapat diungkapkan dengan kata-kata, tari-tarian, atau pementasan lain, wayang misalnya.
Tarian di samping sebagai salah satu wujud tradisi lisan, juga sekaligus sebagai suatu bentuk seni pertunjukan. Dikatakan sebagai suatu tradisi lisan karena tarian tersebut mengandung dimensi mithologi atau pesan tertentu yang hanya dipahami oleh pendukung tarian tersebut, dengan demikian menjadi sarana komunikasi, sosialisasi atau sebagai suatu proses reproduksi kebudayaan baik dalam konteks ritual, seni, maupun dalam bentuk pertunjukan lainnya. Dengan asumsi bahwa tarian merupakan bagian dari media pertunjukan dan performance itu selalu mengharapkan adanya audience. Selain Kapferer, Bauman juga menekankan bahwa performance merupakan suatu bentuk perilaku yang komunikatif dan sebagai suatu peristiwa komunikasi, atau “performance usually of communication, framed in a special way and put on display for an audience”. Ini menunjukkan bahwa bahwa tarian sebagai suatu bentuk seni pertunjukan sama dengan seni pertunjukan lainnya dimana audience menjadi bagian darinya. Disamping itu, tarian juga merupakan salah satu alat atau media komunikasi yang bersifat lisan (non-verbal), baik dalam konteks seni maupun ritual. Proses transformasi makna lewat komunikasi tersebut, berbeda dengan bahasa (narasi dan visual), dimana makna yang diekspresikan lewat tarian melalui perilaku atau gerakan.Mitos tidak hanya sebuah reportase akan apa yang telah terjadi saja, namun mitos itu memberikan semacam arah kepada kelakuan manusia dan digunakan sebagai pedoman untuk kebijaksanaan manusia. Lewat mitos manusia mengambil bagian (ber-part-sipasi).
Partisipasi manusia dalam alam pikiran mitis ini dilukiskan sederhana sebagai berikut: Terdapat subjek, yaitu manusia (S) yang dilingkari oleh dunia, obyek (O). Tetapi subjek itu tidak bulat sehingga daya-daya kekuatan alam dapat menerobosnya. Manusia (S) itu terbuka dan dengan demikian berpartisipasi dengan daya-daya kekuatan alam (O). Partisipasi tersebut berarti bahwa manusia belum mempunyai identitas atau individualitas yang bulat, masih sangat terbukan dan belum merupakan suatu subjek yang berdikari sehingga dunia sekitarnya pun belum dapat disebut (O) yang sempurna dan utuh.
Alam pikiran mistis:
o
Keterangan:
O = Objek/jagat/daya-daya kekuatan alam
S = Subjek/manusia.
Fungsi-fungsi mitos adalah:
1. Menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib.
2. Memberi jaminan bagi masa kini bahwa usaha manusia dalam mengukir sejarah hidupnya akan terus terjadi dan akan ada keberhasilan yang terus berulang-ulang (retardasi).
Ringkasnya mitos berfungsi menampakkan kekuatan-kekuatan, menjamin hari ini, memberi pengetahuan tentang dunia bahwa manusia berada dalam lingkaran kekuatan alam. Di sinilah tampak kemudian geliat tarik menarik antara imanensi dan transendensi. Jangan salah, ketika dalam alam pikiran mitis pun manusia telah memiliki norma/ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia. Norma atau ketentuan inilah yang kemudian akan terus berubah entah mengalami kemajuan ataupun dekandensi. Sebut saja dahulu ada ketentuan anak banyak maka banyak pula rejekinya. Orang jaman dulu tak malu memiliki banyak anak. Namun, seiring bergesernya peradaban banyak anak menjadi suatu aib bahkan ”dilarang” oleh pemerintah/sang pemegang kekuasaan. Muncullah kemudian tindakan abortus. Begitulah normapun akan berjalan seiring perkembangan manusia dalam berpikirnya. Kata mitos lekat pula dengan kata magi. Namun keduanya sangat bertentangan. Mitos lebih dekat dengan suatu pujian religius kepada sang transenden sedangkan magi lebih kekaguman kepada diri sendiri (sang imanen). Ketegangan ini juga akan nampak dalam fenomena budaya. Lihat saja patung-patung jaman Yunani kuno yang sebelumnya didominasi oleh patung dewa-dewi tradisonal akan beralih didominasi oleh para raja yang mengaku sebagai dewa demi mengkultuskan dirinya sendiri.
Tahap yang kedua atau tahap ontologis adalah sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu). Kita akan melihat, bahwa ontologi itu berkembang dalam lingkungan-lingkungan kebudayaan kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.
Alam Pikiran Ontologis:
S O Keterangan:
O = Objek/jagat/daya-daya kekuatan alam
S = Subjek/manusia
Dalam alam pikiran ontologism ini, manusia mulai mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang mengitarinya. Ia tidak begitu terkurung lagi, bahkan kadang ia bertindak sebagai penonton atas hidupnya sendiri. Ia berusaha memperoleh pengertian mengenai daya-daya kekuatan yang menggerakkan alam dan manusia. Perkembangan ini pernah disebut sebagai perkembangan dari ”mitos” ke ”logos”. Kata ”logos” mengandung arti sesuatu yang mirip dengan ”logis”. Namun, dalam tahap ini memang manusia tidak hanya melulu berpikir secara logis, tapi emosi dan harapan juga bermain di sini, pun agama dan keyakinan juga tetap berpengaruh. Sekarang ajaran mengenai dunia mitologis berubah menjadi metafisika.
Refleksi atas kehidupan manusia dengan para pemikir besar Yunani, sebut saja Aristoteles, Plato, dan lain-lain meramaikan alam pikiran ontologis ini. Pertanyaan yang diajukan dalam alam pikiran ini adalah tentang dunia transenden, tentang kebebasan manusia, pengertian mengenai dosa dan kehidupan, eskaton (akhir jaman), dll. Fungsi dari alam pikiran ontologis adalah sebagai berikut: pertama, membuat suatu peta mengenai segala sesuatu yang mengatasi manusia. Gambar dari tahap ontologis adalah sebagai berikut: Ontologis tersebut mau mengatakan sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu). Akan terlihat bahwa ontologi itu berkembang dalam lingkungan-lingkungan kebudayaan kuno yang sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan.
Tahap ketiga atau fungsionil ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mitis), ia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak terhadap obyek penyelidikannya (sikap ontologis). Bukan, ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya.
Tahap fungsional adalah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mitis). Ia tidak lagi, dengan kepala dingin, mengambil jarak terhadap obyek penelitiannya (sikap ontologis). Ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya. Dalam gambar strategi fugnsional itu nampak sebagai berikut: Strategi kebudayaan sebetulnya lebih luas dari pada hanya menyusun suatu policy tertentu mengenai kebudayaan. Di belakang policy kebudayaan seperti disusun oleh pemerintah atau diperjuangkan oleh sekelompok seniman atau ilmiawan, terpampang masalah-masalah yang lebih luas jangkauannya. Seperti misalnya pertanyaan-pertanyaan menyangkut tujuan hidup, makna kehidupan, norma yang mengatur kontak antar manusia, dsb. Dan oleh karena pertanyaan itu, manusia selalu berusaha menemukan jawaban-jawabannya. Maka teruslah proses dinamika sejarah tersebut.
B. Kebudayaan sebagai rencana.
Kebudayaan dapat dipandang sebagai cara-cara untuk mengatasi masalah. Dan bila ditelusuri lebih dalam untuk mencapai tujuan bukan saja piranti yang dibutuhkan harus ada, namun agar piranti tersebut dapat digunakan efektif dan atau efisien dalam mencapai tujuan yang hakikatnya berada dalam lingkaran masa depan maka memerlukan sebuah rencana dan atau strategi yang matang/baik, dengan kata lain rencana dan atau strategi yang baik akan membawa manusia pada pencapaian masa depan atau hari esok yang cerah sebagai titik tujuan. Van Peursen (1978:216) mengatakan, bahwa kebudayaan merupakan strategi atau rencana yang dibuat oleh manusia dan diarahkan kepada hari depan. Dengan demikian kebudayaan bukan saja merupakan alat/piranti untuk menggapai tujuan, hari depan yang cerah, tetapi sekaligus sebagai strategi dan atau rencana masa depan, masa depan yang panjang, masa depan yang diperebutkan tangan-tangan insan.
Mencapai hari/masa depan yang cerah menjadi impian setiap orang, untuk itulah memerlukan rencana yang baik dan alat yang baik pula. Kebudayaan sebagai rencana masa depan kehidupan manusia, yang mana manusia sendiri sebagai produsen dan sekaligus konsumen kebudayaan oleh karenanya manusia haruslah dapat melahirkan kebudayaan yang baik, kebudayaan yang memiliki nilai kemanusiaan dan nilai keilahian, kebudayaan yang membumi dan langit.
Kebudayaan yang memiliki nilai kemanusiaan dan nilai keilahian atau kebudayaan yang membumi dan melangit inilah yang dapat membuat manusia dalam suasana keaktifan, kedinamisan, keoptimisan, kearifan dan keselarasan/ keseimbangan serta kesadaran terhadap dirinya baik sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Kebudayaan ini pula yang dapat melepaskan tali belenggu kebodohan dan pembodohan, kemiskinan dan pemiskinan (moral). Juga menjadi peluru yang dapat merobek tabir misteri kehidupan, dan peluru penembus dinding penyekat ruang dan waktu yang sempit dan menyempit yang terus membentengi kehidupan manusia. Dan pada akhirnya melalui kebudayaan yang didasari nilai kemanusiaan dan keilahian manusia mampu meraih hari depan yang cerah sebagai titik tujuan yang dicita-citakan.
Gazalba (1973: 60) mengatakan, bahwa ruang dan waktu menentukan kebudayaan. Berbeda ruang berbeda kebudyaannya. Berlainan waktu berlainan kebudayaannya. Kebudayaan pada hakikatnya terus berubah sesuai perkembangan zaman dan menjadi media yang menjadikan manusia mengerti dirinya dan dunianya, menjadikan insan yang berbudaya dan beradab, serta menjadi jembatan emas yang mengantarkan manusia meraih hari depan yang dicita-citakan yang didasari nilai kemanusiaan dan keilaihian.
C. Dunia-dunia yang mungkin dan yang tidak mungkin
1. Struktur-struktur dunia
Apabila kita mempelajari sebuah struktur, maka biasanya perhatian kita lebih tertarik oleh pola garis-garis daripada oleh unsur-unsur sendiri dalam hubungan itu. Kadang-kadang kita harus menembus barang-barang untuk dapat melihat strukturnya. Struktur atau susunan selembar daun pohon dengan tulang-tulangnya baru tampak jelas, bila daun itu dikeringkan dulu, sehingga unsur-unsurnya, seperti hijau daun, maupun sel-sel lenyap, sehingga tampaklah strukturnya yang lebih abstrak. Tetapi sebagian dari individualitas daun tersebut hilang, struktur itu sama dengan struktur daun-daun lainnya.
Cara terbaik untuk menjelaskannya ialah sebuah pepatah tersohor dari filsuf G.W. Leiniz: “semua dunia yang mungkin”, artinya dunia yang tidak hnaya menjelaskan dunia kita ini, tetapi semua dunia yang tidak ada, tetapi yang mungkin pernah akan ada. Bagaimana pun abstraknya suatu dunia yang mungkin kita bayangkan tetap di sana memiliki sebuah struktur, seperti perumpamaan daun diatas. Sehingga dapat menghasilkan dunia individual (misalnya satu dunia yang sepi dari kecelakaan tertentu, atau suatu dunia yang tidak memiliki gaya grafitasi). Menurut Leibniz terciptanya dunia ini oleh Tuhan juga terjadi sedemikian rupa. Dalam batin Tuhan terkandung sebuah skema umum mengenai segala macam dunia yang mungkin. Salah satu di antaranya dipilih Tuhan dan demikianlah dunia ini terjadi.
2. Bidang gelap
Dari mekanisme pelatuk, dapat kita pahami Struktur bukanlah sebuah nasib yang harus kita terima begitu saja. Justru sebaliknya, apabila kita dapat memahami struktur-struktur itu, maka kita dapat melihat juga di mana terdapat jalan-jalan buntu, sehingga jalan terbuka bagi permasalahan yang serba baru, yaitu bagaimana kita dapat menggerakkan suatu strategi kebudayaan yang sungguh dapat dipertanggungjawabkan.
Sangatlah sulit untuk menghapus bidang gelap, sebagai contoh dapat kita lihat pada kehidupan para gelandangan yang sudah sering kita temui, namun kita tidak melakukan apa pun untuk merubah kondisi mereka, bahkan terkadang para gelandangan itu tidak mau di pindahkan dari kehidupannya. Para gelandangan menolak untuk dipindahkan biasanya karena mereka takut untuk menghadapi situasi yang baru, dan cara hidup mereka atau pun tempat tinggal mereka yang tidak manusiawi tidak meresahkan mereka sama sekali, bahkan mereka tidak menganggap hal tersebut memerosotkan martabat mereka. Untuk menanggulangi situasi seperti ini kedua pihak harus bekerjasama, yang dibantu, dan yang membantu, barulah bidang gelap dapat dihilangkan.
a. Kesimpulan
Kebudayaan lahir dan hidup bersama masyarakat manusia, masyarakat menjadi wadahnya dan manusia yang melahirkannya.
Tiga tahap dalam bagan kebudayaan ialah: Tahap mitis, tahap ontologism, dan tahap fungsionil.
kebudayaan merupakan strategi atau rencana yang dibuat oleh manusia dan diarahkan kepada hari depan. Dengan demikian kebudayaan bukan saja merupakan alat/piranti untuk menggapai tujuan, hari depan yang cerah, tetapi sekaligus sebagai strategi dan atau rencana masa depan, masa depan yang panjang, masa depan yang diperebutkan tangan-tangan insan.
Setiap dunia yang diangan-angankan manusia, atau setiap hal yang abstrak pada dasarnya pasti memiliki struktur.
Cara untuk menghilangkan bidang gelap adalah dengan meninggkatkan kepedulian kita terhadap sekeliling kita, tidak menyerahkan segala hal kepada nasib, namun kita harus melawannya.
Hegel
BAB I
PENDAHULUAN
Biografi Hegel Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) lahir di Stuttgart, Jerman, pada tahun 1770 dan meninggal di Berlin pada tahun 1831. Selama turun-temurun keluarganya menjadi pegawai negeri. Ayah Hegel sendiri bekerja di kantor pajak Württemberg. Hegel memiliki aksen Swabia yang kental dan terus ia pertahankan sampai akhir hiupnya, sama halnya dengan keyakinannya bahwa kerendahan diri adalah salah satu cirri utama dari kebudayaan yang sejati. Ia belajar Filsafat dan teologi di Tubingen. Salah satu temannya sesama mahasiswa di universitas Tübingen adalah Schelling. Sementara Schelling sudah menunjukkan kecemerlangan intelektual sejak usia mudanya, maka Hegel adalah orang yang lebih "Lambat panas". Filsafatnya baru muncul setengah generasi setelah Filsafat Schelling dan tampak sangat terpengaruh olehnya. Hegel pernah menjadi guru privat, editor surat kabar, kepala sekolah, dan akhirnya professor filsafat pertama di Universitas Heidelberg dan di Berlin. Ia sangat produktif, dan sampai menjelang wafatnya ia masih menjadi tokoh intelektual yang dominan di Jerman. Di antara karya-karyanya yang sangat berpengaruh adalah Fenomenologi Roh (Phenomenology of Spirit, 1806), Ilmu Logika (1812), Filsafat Sejarah (1818), dan Filsafat Hak (1821). Buku Hegel yang pertama kali diterbitkan adalah tentang perbedaan antara filsafat Fichte dan Filsafat Schelling. Filsafat Hegel sendiri dapat dipandang sebagai gabungan dari kedua filsafat itu. Hegel memandang realitas sebagai suatu kesatuan organik, dan realita merupakan sesuatu yang tidak berada dalam keadaan stabil, melainkan dalam suatu proses perkembangan yang terus berlangsung. BAB II PEMBAHASAN A. Fenomenologi Roh Bagi Hegel, filsafat sebagai usaha rasional manusia memahami realitas merupakan sebuah fenomenologi roh. Maksud Hegel, filsafat adalah pembahasan atau ajaran rasional (logos) mengenai penampakan-penampakan (phainomena) roh di dalam peristiwa-peristiwa dunia. Ada tiga pengertian roh (Geist) yang dimaksudkan Hegel kelau ia melihat filsafatnya sebagai fenomenologi:
(1) Roh subjektif (der subjective Geist ) adalah prinsip kesadaran atau jiwa dari masing-masing individu/subjek. Dengan demikian, prinsip ini terkait secara signifikan dengan ciri, corak dan kekhasan masing-masing subjek dalam memahami realitas dan mengkonstruksikannya.
(2) Roh objektif (der objective Geist ) adalah "roh umum" (Gemeingeist) yang memang menggerakkan dan mengatasi kesadaran masing-masing individu—maka bersifat supra-individual—namun nyatanya masih berbagi nasib dengan hidup dan sejarah manusia dalam kesadarannya. Dengan demikian, roh ini pun masih terikat ruang – waktu, dan karenanya mengalami dinamika perubahan. Menerut Hegel, roh ini mengejawantahkan drinya dalam tiga tatanan : hukum, negara, dan hidup para bangsa (sejarah dunia).
(3) Roh Absolut (der absolute Geist) adalah Roh Murni yang mempengaruhi baik kesadaran individu masing-masing individu (roh subjektif) maupun kesadaran bangsa manusia (roh objektif), tanpa sendiri dipengaruhi oleh mereka. Roh ini bergerak penuh kedaulatan di dalam semua, mengembangkan diri di dalam semua (sebagai agama, seni, dan filsafat) dan mengatasi semua. Dengan demikian, dilihat secara menyeluruh, fenomenologi roh rancangan Hegel adalah filsafat sejarah yang bersifat teologis, atau: teologi sejarah yang bersifat filosofis. Ia merupakan perangkat filosofis untuk memahami dan memaknai segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah dunia ini. Dari sudut pandangan filsafat Hegel, gerak zaman adalah proses pogresif dari semakin menjadi sadarnya Roh Absolut akan dirinya sendiri. Manusia mengambil bagian secara aktif dalam gelombang dahsyat gerak zaman itu.
B. Pemikiran Hegel Tentang Sejarah
Hegel menerima idealisme Kant dan memandang realitas sebagai produk dari kegiatan pikiran rasional. Namun, pikiran ini sangat berbeda dari ego Cartesius para rasionalis (termasuk Kant). Bagi Hegel pikiran adalah semacam roh universal (Geist) yang bergerak melewati ruang dan waktu. Akal budi dianggap sebagai prinsip dasar yang menggerakkan semangat ini disepanjang sejarah (tema yang sangat bernuansa Heraklitus). Secara kasar, kontradiksi di pusat Geist adalah "mesin" rasional dari perubahan sejarah. Berdasarkan metode pendekatan hegel terhadap sejarah, Hegel membagi sejarah menjadi tiga macam, yaitu; Sejarah asli, Sejarah reflektif dan Filsafat sejarah. Selain itu bagi Hegel, alam merupakan titik tolak pertama bagi manusia untuk dapat memperoleh kebebasan di dalam dirinya sendiri. Dengan begitu alam merupakan teater sejarah bagi manusia. Teater sejarah yang sejati adalah wilayah yang beriklim sedang; atau belahan utaranya. Bumi di belahan ini menampilkan dirinya dalam bentuk benua. Kebalikan dari itu, di sebelah selatan, bumi membagi dirinya, dan berakhir menjadi banyak titik. Kekhasan ini juga mnampakkan diri dalam berbagai hasil alam. Perbedaan geografis spesifik harus dipandang sebagai perbedaan yang sangat penting dan rasional, berbeda dengan berbagai keadaan yang hanya bersifat kebetulan. Perbedaan yang khas ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: dataran tinggi yang kering dengan stepa dan dataran yang luas; daratan yang berlembah dengan tanah peralihan yang diresapi dan dialiri oleh banyak sungai besar; dan kawasan pantai yang berhubungan langsung dengan laut.
C. Evolusi Sejarah Menurut Hegel, sejarah dunia bermula dengan tujuan umumnya, yaitu perealisasian ide. Ia berjalan dari Timur ke Barat. Asia pangkal sejarah dan Eropa adalah ujungnya. Evolusi sejarah dunia melalui empat tahap; yaitu
a) Tahap pertama adalah Dunia Timur tahap ini merupakan masa kanak-kanak sejarah. Kesadaran dari Timur merupakan kesadaran yang tidak terefleksikan. Kehendak subjektif timur menjalin hubungan dengan bentuk-bentuk keyakinan, kepercayaan, dan kepatuhan. Dalam kehidupan politik Timur, terdapat kebebasan rasional yang disadari, akan tetapi pengembangan dirinya sendiri belum maju kearah kebebasan subyektif. Kelebihan dari konsepsi Timur terletak pada konsep satu individu sebagai substansial yang memiliki semuanya, sehingga tidak ada individu lain, di luar satu individu itu, yang memiliki satu eksistensi terpisah dan dapat merefleksikan dirinya dalam kebebasan subjektifnya. Semua kekayaan imajinasi dan alam menyesuaikan diri dengan satu eksistensi yang dominan tersebut. Dalam kasus seperti ini, kebebasan subyektif menjadi berfusi. Para individu tidak mencari martabat di dalam dirinya, melainkan di dalam obyek yang mutlak itu.
b) Tahap kedua adalah Dunia Yunani Dunia Yunani merupakan periode masa remaja. Di sini kita menemukan individualitas membentuk diri orang-orang Yunani. Ini adalah prinsip pokok tahap kedua dalam sejarah manusia. Moralitas mereka seperti halnya di Asia merupakan sebuah prinsip, akan tetapi dipaksakan kepada individualitas, akibatnya kebebasan merujuk kepada kemauan bebas dari para individu. Tahap ini juga merupakan tahap kesatuan antara moral dengan kehendak subyektif.
c) Tahap yang ketiga adalah Dunia Romawi Ini merupakan kawasan Universalitas Abstrak. Dimana tujuan sosial menyerap semua tujuan individu. Romawi mempresentasikan kerja keras dan kejantanan sejarah. Tindakan mereka tidak sesuai dengan tingkat kuasanya seorang raja yang lalim sebagaimana terjadi di Timur; dan tidak juga taat kepada tingkahnya sendiri seperti yang terjadi di Yunani. Ia sudah bekerja untuk suatu tujuan yang umum. Di sana kesadaran akan tujuan pribadinya diletakkan hanya dalam tujuan umum tersebut. Dengan demikian negara mulai memiliki eksistensi abstrak, dan mengembangkan dirinya untuk suatu tujuan tertentu, guna mencapai tujuan para anggotanya yang ambil bagian di dalamnya, akan tetapi tujuan ini belum utuh dan kongkrit (menggunakan seluruh ada mereka). Di sana para individu yang bebas dikorbankan bagi tuntutan tujuan nasional yang keras, untuk itu mereka harus rela menyerahkan diri ke dalam kebaktian.
d) Tahap keempat Dunia Jermania Disebut dunia Jeremania karena prinsip yang mendasari tahap keempat ini, mencapai realitas konkritnya hanya dalam sejarah bangsa Jerman. Pada tahap ini tercapai kerajaan roh dalam arti yang penuh. Tahap ini bermula dari rekonsiliasi dalam agama Kristen. Tidak ada lagi antithesis antara Gereja dan Negara. Hal ini bukan karena penghapusan yang sekuler, melainkan yang spiritual bergabung kembali dengan yang sekuler. Yang spiritual mengembangkan yang sekuler menjadi sebuah eksistensi organik yang independen. Keadaan ini juga tidak membuat negara inferior terhadap gereja. Negara tidak lagi berkedudukan lebih rendah dari gereja, sementara gereja tidaklah memaksakan adanya hak-hak istimewa baginya. Di sisi lain, negara tidak lagi asing dengan unsure spiritual. Dalam tahap seperti inilah, kebebasan menemukan sarana untuk merealisasikan idealnya. Inilah hasil akhir yang ingin dan telah dicapai oleh sejarah.
D. Organisme Sejarah
Hegel memvisualkan negara sebagai suatu organisme yang memiliki kehendak umum yang kolektif. Negara merupakan entitas yang sadar dan berpikir, yaitu dengan akal atau rohnya. Roh ini sekaligus juga merupakan roh bangsa kolektif yang membentuk suatu negara. Dengan demikian, kehidupan bangsa sama dengan kehidupan individu. Mempunyai alur hidup yang harus dilalui oleh suatu bangsa atau negara, sebagaimana alur hidup yang dilalui oleh individu. Individu akan musnah, demikan juga dengan bangsa. Setalah musnahnya suatu bangsa maka akan lahir bangsa atau negara baru, akan tetapi tidak memulai kehidupan yang sama sekali baru. Bangsa atau negara baru ini memulai kehidupannya di atas puing-puing serta pencapaian-pencapaian yang telah dicapai oleh sejarah.
E. Dialektika
Menurut Hegel, gerakan roh dalam sejarah diatur oleh proses dialektika. Maksudnya, kontradiksi dalam roh universal bisa dimengerti sebagai dua sisi dari suatu argument (tesis dan antitesis) yang disatukan. Ia berpikir, proses ini berlanjut sampai semua kontradiksi dari roh itu telah terpecahkan dengan sendirinya. Hegel berpendapat bahwa pada akhir sejarah, roh telah mendapatkan pengetahuan yang lengkap tentang dirinya.
F. Kekuatan dan Kelemahan
Dalam cara yang paling sederhana, filsafat Hegel menyatakan bahwa sejarah adalah proses sosial yang disebabkan oleh pertentangan antara sistem-sistem ide yang saling-bersaing. Pertentangan ini digambarkan seperti perjuangan antara tuan dan budak. Perjuangan ini hanya bisa diselesaikan jika si tuan membebaskan budaknya. Ide-ide berjuang untuk mendapatkan suatu pengakuan. Saat ide-ide yang "lemah" diakui valid dan signifikan oleh yang "kuat", akan terjadi perubahan pad aide dominan yang lebih kuat. Pada titik ini, ide baru akan muncul untuk menggantikan keduanya. Hegel menyebut proses perubahan sejarah sebagai proses dialektis. Proses ini menghasilkan bentuk baru dan lebih baik dari pengetahuan, setelah melalui proses tesi, antithesis, dan akhirnya suatu penyatuan yang baru.
G. Akhir dari Sejarah
Menurut Hegel, kapankah sejarah akan berakhir? Mungkin pada saat tidak ada lagi pertentangan antara ide-ide yang bersaing. Menurutnya hal ini terjadi pada tahun 1806 ketika Napoleon mengalahkan tentara Prussia pada perang Jena. Menurut Hegel, perang ini menggambarkan kejayaan akhir dari ide-ide yang memotivasi revolusi Prancis, yaitu ide-ide tentang kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Ide-ide ini sangat sukar dipercaya dan terlihat konyol. Namun, seorang filsuf kontemporer Amerika, Francis Fukuyama, juga mengatakan bahwa sejarah sudah berakhir dengan dibubarkannya Uni Soviet. Kegagalan sistem utama oposisi terhadap kapitalisme modern menandai kejayaan akhir dari ide liberal tentang hak-hak individu yang tidak dapat dicabut.
Menurut Fukuyama, kita tinggal di dunia "pasca sejarah" di mana tidak banyak yang terjadi, dan masalah sosial yang paling menekan adalah kebosanan. Namun, untungnya sebagain besar dari kita masih penasaran tentang masa depan sejarah. Pada akhir masa perang dingin, seperti banyak filsuf lain, Fukuyama menjadi terlalu terbawa secara Filosofis. H. Panteisme Sejarah Sepanjang pembicaraan Hegel mengenai sejarah, baik dalam sistem idealismenya secara umum maupun secara lebih khusus, kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud oleh Hegel dengan Roh, Rasio atau Akal itu sesungguhnya adalah Tuhan. dalam berbagai tempat Hegel menyatakan hal tersebut baik secara eksplisit maupun implisit. Alam dan sejarah oleh Hegel dipahami sebagai kehadiran Tuhan. Dalam teologi atau mistisme hal ini dikenal dengan nama Pantheisme. I. Analisis 1. Kausalitas Sejarah Menurut Hegel sejarah merupakan jalan keniscayaan rasional Ruh-Dunia-Ruh yang hakikatnya senantiasa satu dan sama, namun yang mengungkapkan hakikatnya yang satu ini dalam fenomena keberadaan dunia. Tingkat kemajuan sejarah suatu bangsa ditentukan juga oleh taraf perwujudan diri roh pada bangsa itu. Taraf perwujudan diri roh pada suatu bangsa ditentukan oleh tingkat kesiapan bangsa itu menerima manifestasi roh pada taraf yang bagaimana. Seterusnya, tingkat kesiapan suatu bangsa menerima taraf aktualisasi roh pada tahap mana itu ditentukan oleh taraf kesadarannya. Sementara, taraf kesadaran suatu bangsa ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu alam, zaman dan wilayah, serta agama dan budaya, dengan demikian dalam sistem Hegel jelas ada kausa-kausa yang menjelaskan mengapa sejarah berlaku demikian dan hanya demikian. 2. Kebebasan Sejarah Dalam paradigma Hegel, kebebasan terkait kesadaran dan tujuan, bukan kehendak dan tindakan proaktif. Kebebasan lebih menyangkut aspek kognitif. "…. Hakikat esensial kebebasan — yang di dalamnya meliputi keniscayaan mutlak— …. Kesadaran tentang dirinya… menyadari eksistensinya. Hukum adalah objektifitas Ruh, kemauan dalam bentuknya yang sejati. Hanya kehendak yang mematuhi hukumlah yang bebas… manakala kehendak subjektif manusia tunduk kepada hukum – kontradiksi antara kebebasan dengan kebutuhan lenyap. Kebebasan ridak lain merupakan pengenalan dan penggunaan berbagai objek substansial universal seperti Hak dan Hukum, dan hasil dari realitas yang sesuai dengannya – negara." Hegel membagi kebebasan menjadi kebebasan subjektif dan kebebasan objektif. Kebebasan subjektif adalah kebebasan yang terkandung dalam diri setiap individu, sementara kebebasan objektif adalah kebebasan yang terkandung dalam kolektivitas sosial suatu bangsa.
By. Hanifa Annisa
Daftar Pustaka
Ismail, Sanusi. 2012. Filsafat Sejarah: wacana tentang kausalitas dan kebebasan dalam kehidupan kolektif. Banda Aceh: Arranirypress. Magee, Bryan. 2008. The Story of Philosophy: Kisah Tentang Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Strathern, Paul. 2001. 90 Menit Bersama Hegel. Jakarta: Erlangga. Suseno, Franz Magnis-. 2008. Sesudah Filsafat: Esai-Esai untuk Franz Magnis-Suseno. Yogyakarta: Kanisius. Turnbull, Nil. 2005. Bengkel Ilmu: Filsafat. Jakarta: Erlangga.
PENDAHULUAN
Biografi Hegel Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) lahir di Stuttgart, Jerman, pada tahun 1770 dan meninggal di Berlin pada tahun 1831. Selama turun-temurun keluarganya menjadi pegawai negeri. Ayah Hegel sendiri bekerja di kantor pajak Württemberg. Hegel memiliki aksen Swabia yang kental dan terus ia pertahankan sampai akhir hiupnya, sama halnya dengan keyakinannya bahwa kerendahan diri adalah salah satu cirri utama dari kebudayaan yang sejati. Ia belajar Filsafat dan teologi di Tubingen. Salah satu temannya sesama mahasiswa di universitas Tübingen adalah Schelling. Sementara Schelling sudah menunjukkan kecemerlangan intelektual sejak usia mudanya, maka Hegel adalah orang yang lebih "Lambat panas". Filsafatnya baru muncul setengah generasi setelah Filsafat Schelling dan tampak sangat terpengaruh olehnya. Hegel pernah menjadi guru privat, editor surat kabar, kepala sekolah, dan akhirnya professor filsafat pertama di Universitas Heidelberg dan di Berlin. Ia sangat produktif, dan sampai menjelang wafatnya ia masih menjadi tokoh intelektual yang dominan di Jerman. Di antara karya-karyanya yang sangat berpengaruh adalah Fenomenologi Roh (Phenomenology of Spirit, 1806), Ilmu Logika (1812), Filsafat Sejarah (1818), dan Filsafat Hak (1821). Buku Hegel yang pertama kali diterbitkan adalah tentang perbedaan antara filsafat Fichte dan Filsafat Schelling. Filsafat Hegel sendiri dapat dipandang sebagai gabungan dari kedua filsafat itu. Hegel memandang realitas sebagai suatu kesatuan organik, dan realita merupakan sesuatu yang tidak berada dalam keadaan stabil, melainkan dalam suatu proses perkembangan yang terus berlangsung. BAB II PEMBAHASAN A. Fenomenologi Roh Bagi Hegel, filsafat sebagai usaha rasional manusia memahami realitas merupakan sebuah fenomenologi roh. Maksud Hegel, filsafat adalah pembahasan atau ajaran rasional (logos) mengenai penampakan-penampakan (phainomena) roh di dalam peristiwa-peristiwa dunia. Ada tiga pengertian roh (Geist) yang dimaksudkan Hegel kelau ia melihat filsafatnya sebagai fenomenologi:
(1) Roh subjektif (der subjective Geist ) adalah prinsip kesadaran atau jiwa dari masing-masing individu/subjek. Dengan demikian, prinsip ini terkait secara signifikan dengan ciri, corak dan kekhasan masing-masing subjek dalam memahami realitas dan mengkonstruksikannya.
(2) Roh objektif (der objective Geist ) adalah "roh umum" (Gemeingeist) yang memang menggerakkan dan mengatasi kesadaran masing-masing individu—maka bersifat supra-individual—namun nyatanya masih berbagi nasib dengan hidup dan sejarah manusia dalam kesadarannya. Dengan demikian, roh ini pun masih terikat ruang – waktu, dan karenanya mengalami dinamika perubahan. Menerut Hegel, roh ini mengejawantahkan drinya dalam tiga tatanan : hukum, negara, dan hidup para bangsa (sejarah dunia).
(3) Roh Absolut (der absolute Geist) adalah Roh Murni yang mempengaruhi baik kesadaran individu masing-masing individu (roh subjektif) maupun kesadaran bangsa manusia (roh objektif), tanpa sendiri dipengaruhi oleh mereka. Roh ini bergerak penuh kedaulatan di dalam semua, mengembangkan diri di dalam semua (sebagai agama, seni, dan filsafat) dan mengatasi semua. Dengan demikian, dilihat secara menyeluruh, fenomenologi roh rancangan Hegel adalah filsafat sejarah yang bersifat teologis, atau: teologi sejarah yang bersifat filosofis. Ia merupakan perangkat filosofis untuk memahami dan memaknai segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah dunia ini. Dari sudut pandangan filsafat Hegel, gerak zaman adalah proses pogresif dari semakin menjadi sadarnya Roh Absolut akan dirinya sendiri. Manusia mengambil bagian secara aktif dalam gelombang dahsyat gerak zaman itu.
B. Pemikiran Hegel Tentang Sejarah
Hegel menerima idealisme Kant dan memandang realitas sebagai produk dari kegiatan pikiran rasional. Namun, pikiran ini sangat berbeda dari ego Cartesius para rasionalis (termasuk Kant). Bagi Hegel pikiran adalah semacam roh universal (Geist) yang bergerak melewati ruang dan waktu. Akal budi dianggap sebagai prinsip dasar yang menggerakkan semangat ini disepanjang sejarah (tema yang sangat bernuansa Heraklitus). Secara kasar, kontradiksi di pusat Geist adalah "mesin" rasional dari perubahan sejarah. Berdasarkan metode pendekatan hegel terhadap sejarah, Hegel membagi sejarah menjadi tiga macam, yaitu; Sejarah asli, Sejarah reflektif dan Filsafat sejarah. Selain itu bagi Hegel, alam merupakan titik tolak pertama bagi manusia untuk dapat memperoleh kebebasan di dalam dirinya sendiri. Dengan begitu alam merupakan teater sejarah bagi manusia. Teater sejarah yang sejati adalah wilayah yang beriklim sedang; atau belahan utaranya. Bumi di belahan ini menampilkan dirinya dalam bentuk benua. Kebalikan dari itu, di sebelah selatan, bumi membagi dirinya, dan berakhir menjadi banyak titik. Kekhasan ini juga mnampakkan diri dalam berbagai hasil alam. Perbedaan geografis spesifik harus dipandang sebagai perbedaan yang sangat penting dan rasional, berbeda dengan berbagai keadaan yang hanya bersifat kebetulan. Perbedaan yang khas ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: dataran tinggi yang kering dengan stepa dan dataran yang luas; daratan yang berlembah dengan tanah peralihan yang diresapi dan dialiri oleh banyak sungai besar; dan kawasan pantai yang berhubungan langsung dengan laut.
C. Evolusi Sejarah Menurut Hegel, sejarah dunia bermula dengan tujuan umumnya, yaitu perealisasian ide. Ia berjalan dari Timur ke Barat. Asia pangkal sejarah dan Eropa adalah ujungnya. Evolusi sejarah dunia melalui empat tahap; yaitu
a) Tahap pertama adalah Dunia Timur tahap ini merupakan masa kanak-kanak sejarah. Kesadaran dari Timur merupakan kesadaran yang tidak terefleksikan. Kehendak subjektif timur menjalin hubungan dengan bentuk-bentuk keyakinan, kepercayaan, dan kepatuhan. Dalam kehidupan politik Timur, terdapat kebebasan rasional yang disadari, akan tetapi pengembangan dirinya sendiri belum maju kearah kebebasan subyektif. Kelebihan dari konsepsi Timur terletak pada konsep satu individu sebagai substansial yang memiliki semuanya, sehingga tidak ada individu lain, di luar satu individu itu, yang memiliki satu eksistensi terpisah dan dapat merefleksikan dirinya dalam kebebasan subjektifnya. Semua kekayaan imajinasi dan alam menyesuaikan diri dengan satu eksistensi yang dominan tersebut. Dalam kasus seperti ini, kebebasan subyektif menjadi berfusi. Para individu tidak mencari martabat di dalam dirinya, melainkan di dalam obyek yang mutlak itu.
b) Tahap kedua adalah Dunia Yunani Dunia Yunani merupakan periode masa remaja. Di sini kita menemukan individualitas membentuk diri orang-orang Yunani. Ini adalah prinsip pokok tahap kedua dalam sejarah manusia. Moralitas mereka seperti halnya di Asia merupakan sebuah prinsip, akan tetapi dipaksakan kepada individualitas, akibatnya kebebasan merujuk kepada kemauan bebas dari para individu. Tahap ini juga merupakan tahap kesatuan antara moral dengan kehendak subyektif.
c) Tahap yang ketiga adalah Dunia Romawi Ini merupakan kawasan Universalitas Abstrak. Dimana tujuan sosial menyerap semua tujuan individu. Romawi mempresentasikan kerja keras dan kejantanan sejarah. Tindakan mereka tidak sesuai dengan tingkat kuasanya seorang raja yang lalim sebagaimana terjadi di Timur; dan tidak juga taat kepada tingkahnya sendiri seperti yang terjadi di Yunani. Ia sudah bekerja untuk suatu tujuan yang umum. Di sana kesadaran akan tujuan pribadinya diletakkan hanya dalam tujuan umum tersebut. Dengan demikian negara mulai memiliki eksistensi abstrak, dan mengembangkan dirinya untuk suatu tujuan tertentu, guna mencapai tujuan para anggotanya yang ambil bagian di dalamnya, akan tetapi tujuan ini belum utuh dan kongkrit (menggunakan seluruh ada mereka). Di sana para individu yang bebas dikorbankan bagi tuntutan tujuan nasional yang keras, untuk itu mereka harus rela menyerahkan diri ke dalam kebaktian.
d) Tahap keempat Dunia Jermania Disebut dunia Jeremania karena prinsip yang mendasari tahap keempat ini, mencapai realitas konkritnya hanya dalam sejarah bangsa Jerman. Pada tahap ini tercapai kerajaan roh dalam arti yang penuh. Tahap ini bermula dari rekonsiliasi dalam agama Kristen. Tidak ada lagi antithesis antara Gereja dan Negara. Hal ini bukan karena penghapusan yang sekuler, melainkan yang spiritual bergabung kembali dengan yang sekuler. Yang spiritual mengembangkan yang sekuler menjadi sebuah eksistensi organik yang independen. Keadaan ini juga tidak membuat negara inferior terhadap gereja. Negara tidak lagi berkedudukan lebih rendah dari gereja, sementara gereja tidaklah memaksakan adanya hak-hak istimewa baginya. Di sisi lain, negara tidak lagi asing dengan unsure spiritual. Dalam tahap seperti inilah, kebebasan menemukan sarana untuk merealisasikan idealnya. Inilah hasil akhir yang ingin dan telah dicapai oleh sejarah.
D. Organisme Sejarah
Hegel memvisualkan negara sebagai suatu organisme yang memiliki kehendak umum yang kolektif. Negara merupakan entitas yang sadar dan berpikir, yaitu dengan akal atau rohnya. Roh ini sekaligus juga merupakan roh bangsa kolektif yang membentuk suatu negara. Dengan demikian, kehidupan bangsa sama dengan kehidupan individu. Mempunyai alur hidup yang harus dilalui oleh suatu bangsa atau negara, sebagaimana alur hidup yang dilalui oleh individu. Individu akan musnah, demikan juga dengan bangsa. Setalah musnahnya suatu bangsa maka akan lahir bangsa atau negara baru, akan tetapi tidak memulai kehidupan yang sama sekali baru. Bangsa atau negara baru ini memulai kehidupannya di atas puing-puing serta pencapaian-pencapaian yang telah dicapai oleh sejarah.
E. Dialektika
Menurut Hegel, gerakan roh dalam sejarah diatur oleh proses dialektika. Maksudnya, kontradiksi dalam roh universal bisa dimengerti sebagai dua sisi dari suatu argument (tesis dan antitesis) yang disatukan. Ia berpikir, proses ini berlanjut sampai semua kontradiksi dari roh itu telah terpecahkan dengan sendirinya. Hegel berpendapat bahwa pada akhir sejarah, roh telah mendapatkan pengetahuan yang lengkap tentang dirinya.
F. Kekuatan dan Kelemahan
Dalam cara yang paling sederhana, filsafat Hegel menyatakan bahwa sejarah adalah proses sosial yang disebabkan oleh pertentangan antara sistem-sistem ide yang saling-bersaing. Pertentangan ini digambarkan seperti perjuangan antara tuan dan budak. Perjuangan ini hanya bisa diselesaikan jika si tuan membebaskan budaknya. Ide-ide berjuang untuk mendapatkan suatu pengakuan. Saat ide-ide yang "lemah" diakui valid dan signifikan oleh yang "kuat", akan terjadi perubahan pad aide dominan yang lebih kuat. Pada titik ini, ide baru akan muncul untuk menggantikan keduanya. Hegel menyebut proses perubahan sejarah sebagai proses dialektis. Proses ini menghasilkan bentuk baru dan lebih baik dari pengetahuan, setelah melalui proses tesi, antithesis, dan akhirnya suatu penyatuan yang baru.
G. Akhir dari Sejarah
Menurut Hegel, kapankah sejarah akan berakhir? Mungkin pada saat tidak ada lagi pertentangan antara ide-ide yang bersaing. Menurutnya hal ini terjadi pada tahun 1806 ketika Napoleon mengalahkan tentara Prussia pada perang Jena. Menurut Hegel, perang ini menggambarkan kejayaan akhir dari ide-ide yang memotivasi revolusi Prancis, yaitu ide-ide tentang kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Ide-ide ini sangat sukar dipercaya dan terlihat konyol. Namun, seorang filsuf kontemporer Amerika, Francis Fukuyama, juga mengatakan bahwa sejarah sudah berakhir dengan dibubarkannya Uni Soviet. Kegagalan sistem utama oposisi terhadap kapitalisme modern menandai kejayaan akhir dari ide liberal tentang hak-hak individu yang tidak dapat dicabut.
Menurut Fukuyama, kita tinggal di dunia "pasca sejarah" di mana tidak banyak yang terjadi, dan masalah sosial yang paling menekan adalah kebosanan. Namun, untungnya sebagain besar dari kita masih penasaran tentang masa depan sejarah. Pada akhir masa perang dingin, seperti banyak filsuf lain, Fukuyama menjadi terlalu terbawa secara Filosofis. H. Panteisme Sejarah Sepanjang pembicaraan Hegel mengenai sejarah, baik dalam sistem idealismenya secara umum maupun secara lebih khusus, kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud oleh Hegel dengan Roh, Rasio atau Akal itu sesungguhnya adalah Tuhan. dalam berbagai tempat Hegel menyatakan hal tersebut baik secara eksplisit maupun implisit. Alam dan sejarah oleh Hegel dipahami sebagai kehadiran Tuhan. Dalam teologi atau mistisme hal ini dikenal dengan nama Pantheisme. I. Analisis 1. Kausalitas Sejarah Menurut Hegel sejarah merupakan jalan keniscayaan rasional Ruh-Dunia-Ruh yang hakikatnya senantiasa satu dan sama, namun yang mengungkapkan hakikatnya yang satu ini dalam fenomena keberadaan dunia. Tingkat kemajuan sejarah suatu bangsa ditentukan juga oleh taraf perwujudan diri roh pada bangsa itu. Taraf perwujudan diri roh pada suatu bangsa ditentukan oleh tingkat kesiapan bangsa itu menerima manifestasi roh pada taraf yang bagaimana. Seterusnya, tingkat kesiapan suatu bangsa menerima taraf aktualisasi roh pada tahap mana itu ditentukan oleh taraf kesadarannya. Sementara, taraf kesadaran suatu bangsa ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu alam, zaman dan wilayah, serta agama dan budaya, dengan demikian dalam sistem Hegel jelas ada kausa-kausa yang menjelaskan mengapa sejarah berlaku demikian dan hanya demikian. 2. Kebebasan Sejarah Dalam paradigma Hegel, kebebasan terkait kesadaran dan tujuan, bukan kehendak dan tindakan proaktif. Kebebasan lebih menyangkut aspek kognitif. "…. Hakikat esensial kebebasan — yang di dalamnya meliputi keniscayaan mutlak— …. Kesadaran tentang dirinya… menyadari eksistensinya. Hukum adalah objektifitas Ruh, kemauan dalam bentuknya yang sejati. Hanya kehendak yang mematuhi hukumlah yang bebas… manakala kehendak subjektif manusia tunduk kepada hukum – kontradiksi antara kebebasan dengan kebutuhan lenyap. Kebebasan ridak lain merupakan pengenalan dan penggunaan berbagai objek substansial universal seperti Hak dan Hukum, dan hasil dari realitas yang sesuai dengannya – negara." Hegel membagi kebebasan menjadi kebebasan subjektif dan kebebasan objektif. Kebebasan subjektif adalah kebebasan yang terkandung dalam diri setiap individu, sementara kebebasan objektif adalah kebebasan yang terkandung dalam kolektivitas sosial suatu bangsa.
By. Hanifa Annisa
Daftar Pustaka
Ismail, Sanusi. 2012. Filsafat Sejarah: wacana tentang kausalitas dan kebebasan dalam kehidupan kolektif. Banda Aceh: Arranirypress. Magee, Bryan. 2008. The Story of Philosophy: Kisah Tentang Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Strathern, Paul. 2001. 90 Menit Bersama Hegel. Jakarta: Erlangga. Suseno, Franz Magnis-. 2008. Sesudah Filsafat: Esai-Esai untuk Franz Magnis-Suseno. Yogyakarta: Kanisius. Turnbull, Nil. 2005. Bengkel Ilmu: Filsafat. Jakarta: Erlangga.
Saturday, 27 April 2013
Sulthan Iskandar Muda the Greatest King of Aceh
A. Pendahuluan
Dengan Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511), dan juga Pase (1522), banyaklah pedagang yang mencari pangkalan baru di Aceh. Kemudian timbullah suatu kerajaan di Aceh. Aceh mewakili pusat dunia Islam di Asia Tenggara. Bahkan Aceh merupakan pintu transmisi jalur perjalanan penyebaran agama Islam ke Seluruh wilayah Asia Tenggara. Karena itulah Aceh terkenal dengan sebutan Serambi Mekah.
Pada pertengahan abad ke XII.M Kerajaan Indra Purba (Lamuri) mendapat serangan dari dari kerajaan Seudu (Cantoli) yang dipimpin oleh “Puteri Nian Nio Liang Khi” (Putroe Neng), yang memerintah masa itu adalah Maharaja Indra Sakti. Dalam suasana peperangan inilah datang rombongan Syah Hudan (Syekh Abdullah Kan’an) yang terdiri dari 300 umat Islam yang datang bersama keluarganya, Termasuk Meurah Johan. Mereka datang dari Perlak. Pasukan Putroe Neng berhasil dikalahkan oleh mereka. Dan kemudian Maharaja Indra Sakti dan seluruh rakyat Indra Purba masuk Islam. Maharaja Indra Sakti menikahkan putrinya dengan Meurah Johan. Sehingga setelah raja wafat kedudukannya diambil alih oleh Meurah Jauhan, dan mendirikan negara dengan nama “Kerajaan Darussalam” pada hari Jum’at bulan Ramadhan, tahun 601.H/1205.M.
Ali Mughayat Syah mempunyai pikiran untuk menyatukan kerajaan-kerajaan kecil dibawah satu kekuasaan, menjadi besar dan disegani lawan. Oleh karenanya Dia meminta ayahnya menyerahkan jabatan pimpinan negara kepadanya. Setelah ia menjadi raja, ia berhasil mewujudkan keinginannya, dan juga berhasil mengusir Portugis dari Samudra Pasai. Pada hari Kamis, 20 Februari 1511 diproklamirkanlah berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam. Ali Mughayat Syah meninggal pada 12 Zulhijjah 936 (17 Agustus 1530) dan di makamkan di Kandang XII, Banda Aceh.
Kerajaan Aceh Darussalam mencapai zaman keemasannya (The Golden Year) pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Dibawah pemerintahannya Aceh menjadi sangat besar, kuat, aman, dan makmur, maju dan kaya.
Mengenai Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda sudah ditulis oleh beberapa ahli, diantaranya: Denys Lombard, dengan bukunya yang berjudul “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”, buku ini menceritakan secara mendetail mengenai tokoh Iskandar Muda dan keadaan Sosial, ekonomi dan politik pada masa itu. Ali Hasjmy, dengan bukunya yang berjudul “Iskandar Muda Meukuta Alam”, yang merupakan sebuah biografi Iskandar Muda. dan Rusdi Sufi dengan bukunya yang berjudul “Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda”, yang menuliskan mengenai tokoh Iskandar Muda, mencakup segala hal mengnainya, dan hal-hal yang dicapainya selama memerintah, dan lain sebagainya.
1. Rumusan Masalah
Siapakah Iskandar Muda?
Bagaimana cara Iskandar Muda mendapatkan tahta kerajaan?
Bagaimanakah sistem peradilan pada masa Iskandar Muda?
2. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui siapa itu tokoh Iskandar Muda, benarkah cerita-cerita rakyat mengenai tokoh ini, dan untuk mengungkapkan bagaimana kehidupan Iskandar Muda semasa sebelum menjadi Sultan, latar belakang dirinya, dan juga untuk mengungkapkan bagaimana peradilan pada masa itu.
3. Argumen
Selama ini banyak cerita-cerita yang beredar luas dalam masyarakat Aceh mengenai tokoh Iskandar Muda dan kebesarannya. Banyak cerita-cerita ini mulai tidak logis dan terlalu dibesar-besarkan oleh masyarkat. Bahkan mengenai asal-usul Iskandar Muda sering dilebih-lebihkan, seperti dalam Hikayat Aceh yang menguraikan sejarah bermitos sebelum Iskandar Muda. Pada awalnya dikatakan ada seorang pangeran dari Lamri yang bernama Munawar Syah, keturunan dari Iskandar Zulkarnain. Dari seorang putri “berdarah putih”, perikahyangan. Sultan Munawar Syah menurut Hikayat Aceh ini adalah moyangnya Sultan Iskandar Muda.
Bahkan nama Iskandar Muda sendiri bukanlah Iskandar Muda, tidak ada teks baik dari Aceh maupun dari Eropa yang menyatakan nama ini. Menurut kronik yang diterjemahkan oleh Duluaurier mengatakan bahwa sang pengeran diberi nama Iskandar Muda pada hari penobatannya. Tampaknya mengenai gelar Iskandar Muda ini merupakan pengaruh dari mitos Iskandar Zulkarnain. Seperti yang diungkapkan oleh Lombard dalam bukunya yang berjudul Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), ia mengatakan bahwa suatu hal yang pasti¬ ¬— dan yang sudah tentu lebih penting dari hanya sekedar gelar saja — ialah pengaruh mitos Iskandar Zulkarnain.
B. Aceh Sebelum Sultan Iskandar Muda
Kerajaan Aceh Darussalam berawal dari kerajaan Lamuri, dengan raja pertamanya adalah Sultan Alaiddin Jauhan Syah. Namun nama kerajaan saat itu adalah Kerajaan Darussalam. Aceh baru menjadi Kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah, dialah yang mempersatukan kerajaan Aceh di bawah satu negara. Ia mempersatukan negeri Pidir, daya, dan Samudra Pasai dibawah kekuasaannya.
Kerajaan Aceh Darussalam mengukuhkan kekuatannya pada masa Sultan Alaidin Ri’ayah Syah Al-Qahar, pada masanya ia berhasil mengusir Portugis yang mendarat di Ujung Sudeuen. Dia juga Melakukan ekspansi-ekspansi ke banyak Kerajaan, seperti Barus, Batak dan Aru. Untuk mejaga keutuhan kerajaan ini Dia menempatkan orang-orang kepercayaannya di daerah-daerah pengaruh kesultanan Aceh. Selain itu usaha yang berhasil dilakukannya adalah mengembangkan kekuatan angkatan perang, yaitu dengan meminta bantuan dari Turki Usmani Dalam menghadapi Portugis , mengembangkan perdagangan, yaitu dengan membuka 4 pelabuhan, yakni Pantai Cermin, Daya, Pidie dan Pasai. Dalam Bandar-bandar dan pekan-pekan didapati pedagang-pedagang asing dari pelbagai kebangsaan, seperti Arab Cina, dan Persi. Perdagangan Lada sangat maju, sehingga Sultan memperhebat penanaman Lada dengan membuka kebun-kebun Lada Selain itu, Sultan juga mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan Islam yang ada di Timur Tengah, seperti Turki, dan Mesir. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya surat-surat kerajaan yang masih tersimpan di dokumen Turki, yang dapat ditemukan di rekaman Mühimme yang dikeluarkan oleh Divan-i Humayun .
Sultan Aceh yang cukup terkenal selanjutnya adalah Ali Ri’ayat Syah dengan gelar Saidil Mukammil, beliau adalah kakek dari Sultan Iskandar Muda. Pada masanya Belanda pertama kali datang ke Aceh yang dipimpin oleh de Houtman bersaudara. Pada kedatangan yang pertama ini mereka disambut dengan baik dengan Sultan, namun, Karena adanya kesalah pahaman terjadilah pertempuran yang menewaskan Cornelis de Houtman sedangkan saudaranya ditahan bersama dengan sisa-sisa awak kapalnya. Namun, Pada tahun 1602 Belanda kembali datang ke Aceh untuk berdamai, dengan membawa sepucuk Surat dari Prints Maurits. Hal ini disambut baik oleh pihak Aceh. Sultan mengirimkan 3 orang utusan ke Belanda
Selanjutnya kekuasaan jatuh ke tangan Sultan Ali Ri’ayat Syah yang merebut kekuasaan dari ayahnya sendiri, akibatnya terjadilah peperangan antara ia dan Raja Hussain Syah. Pertempuran ini menewaskan Raja Hussain Syah, dan Sultan Iskandar Muda yang membantu Raja Hussain ditawan.
Keadaan Aceh sebelum naiknya Iskandar tidak terlalu baik, kerajaan Aceh pada masa sebelumnya merupakan kancah perampokan dan pembunuhan dan ketidak aturan yang sangat menyedihkan. Oleh karenanya pemerintahan berjalan dengan tidak memuaskan rakyat.
C. Tokoh Iskandar Muda
Dari pihak leluhur ibu, Iskandar keturunan Raja Darul Kamal, dan dari pihak leluhur ayah keturunan keluarga Raja Makota Alam. Aceh Darussalam sendiri adalah gabungan dari kedua kerajaan ini, sehingga Iskandar Muda berhak sepenuhnya menuntut tahta. Ayah Iskandar Muda bernama Mansyur Syah bin Abdul Djalil bin Al-Kahar. Dengan demikian, beliau termasuk dalam pertalian keluarga dengan sultan Aceh sebelumnya. Dari pihak ibunya yaitu Puteri Indra Bangsa binti Sultan ‘Alaiddin Ri’ayat Syah Saidi al-Mukammil. Menurut Denys Lombard, Iskandar Muda lahir sekitar tahun 1583. Pernyataan ini berdasarkan pada keterangan dari Hikayat Aceh mengenai Perkawinan antara Mansyur Syah dan istrinya. Dan juga berdasarkan keterangan dari Best yang menyatakan pada tahun 1613 menyatakan bahwa umurnya 32 tahun. Sedangkan menurut A. Hasjmy, Iskandar Muda Lahir pada malam menjelang subuh tanggal 22 Rajab 1001 H/1593 M. Ketika lahir awalnya Iskandar Muda dinamakan Raja Sulaiman. Menurut Hikayat Aceh setelah usia tiga tahun, kakeknya memberi nama kepada cucunya dengan nama Abangta Raja Munawar Syah, kemudian Tun Pangkat Darma Wangsa, kemudian dalam usia yang masih muda bermacam nama sesuai dengan kehebatannya, seperti Pancagah dan lain-lain. Sedangkan mengenai nama Iskandar Muda menurut kronik yang diterjemahkan oleh Duluaurier mengatakan bahwa sang pengeran diberi nama Iskandar Muda pada hari penobatannya.
Iskandar Muda telah menjadi piatu semenjak usianya dua tahun. Ayahnya wafat dalam pertempuran di Laut Aru antara Armada Portugis dengan Armada Aceh. Didalam pergaulan taman kanak-kanak, ia selalu bbermain bersama sesarnanya yang diperhatlikan diatas balairong dan ditempat-tempat perjamuan. Selelah selesai mengaji mereka suka mengadakan satu permainan yang dinamakan "MEURADJA RADJA" (beraja-raja). Naskah Hikayat Aceh mengkisahkan tentang pertumbuhannya Sultan Iskandar Muda. Disebutkan bahwa ketika umurnya 4 tahun, kakeknya yang menyayanginya secara khusus, memberinya "gajah emas dan kuda untuk permainannya". Selain itu juga sebuah mainan otomatis berupa dua ekor domba yang dapat berlaga, lalu gasing dan kelereng dari emas atau dari suasa. Ketika ia berumur 5 tahun, kakeknya memberikan seekor anak gajah bernama Indra Jaya sebagai teman bermain. Pada umur 6 tahun, anak itu sudah berburu gajah Har, pada umur 8 tahun ia suka bermain perahu di sungai mengatur perang. Peperangan dengan meriam-meriaman kecil. Pada umur 9 tahun ia membagi perang-perangan sambil membangun benteng-benteng pertanahan kecil, pada umur 12 tahun ia berburu kerbau Har waktu mencapai umur 13 tahun ia mulai bekerja dengan bimbingan Fakih Raja Indra. Si kakek menyuruh membuatkan 30 batu tulis dari logam mulai bagi cucunya dan teman-temannya. Ia juga belajar membaca Al-Qur'an. Lalu seorang guru pedang ditugaskan mengajarkan kepandaian main pedang.
Mengenai sifat Sultan Iskandar Muda banyak berita yang bertentangan satu sama lain. Misalnya sumber-sumber Aceh seperti Bustanul Salatin, memberikan pujian-pujian sifat Sultan ini. Antara lain menyebutkan: "Ialah yang Johan pahlawan lagi perkasa, dan kebijaksanan pada segala barang perkataannya, dan pada segala kelakuannya, dan telah elok sikapnya". Sebaliknya sumber-sumber Barat seperti laporan perjalanan Augustin de Beaulieu yang datang ke Aceh pada tahun 1621 menyebutkan sifat-sifat kekejaman Sultan Iskandar Muda.
D. Penobatan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Sultan Muda merebut kekuasaan dari ayahnya, yang mengakibatkan ia berperang dengan Raja Hussain. Raja Hussain wafat dalam peperangan ini dan Iskandar ditawan. Dalam masa-masa ini lagi-lagi Portugis datang menyerang Aceh pada tahun 1606. Pasukan mereka dipimpin oleh Alfonso de Castro Ketika Iskandar mendengar adanya penyerangan itu, maka ia mohon kepada Sultan agar dia diperkenankan ikut berperang melawan Portugis. Dan permohonan ini dikabulkan oleh Sultan Aceh. Kemudian dia dan tentara Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis. Tentara Aceh menang dan berhasil mengusir Portugis dari Aceh. Malam itu juga si Paman dinyatakan meninggal, dan pahlawan hari itu dinyatakan sebagai Sultan menurut Bustan us-Salatin Iskandar dinyatakan sebagai Sultan pada 6 Zulhijah 1015 H (awal April 1607).
Sultan Iskandar Muda mangkat dengan tiba-tiba pada tanggal 27 Desember 1636. Mungkin kematiannya ini disebabkan karena kena racun yang diberikan oleh para wanita Makasar kepadanya atas perintah orang-orang Portugis. Hal ini dapat diketahui dari laporan Gubernur Jendral Kompeni Belanda di Batavia, yakni Antonio van Diemen. Pada tanggal 9 Desember 1636.
E. Peradilan
Mengikuti Bustan us-Salatin Iskandar Muda telah melaksanakan undang-undang Islam di Aceh, seperti melaksanakan hukuman hudud bagi pencuri dan penzina. Juga dikatakan dia telah memerintahkan rakyat untuk mengerjakan dengan taan rukun Islam, terutama dalam bidang sembahyang dan puasa. Dia juga mengharamkan meminum arak dan bermain judi.
Undang-undang yang digunakan pada masa ini dikenal dengan nama Qanun Meukuta Alam al-Asyi yang bersumberkan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ Ulama, dan Qiyas. Qanun ini menetapkan empat jenis hukum, yaitu: a. Kekuasaan Hukum, yang dipegang oleh Kadil Malikul Adil. b. kekuasaan Adat, yang dipehgang oleh Sultan Malikul Adil. c. kekuasaan Qanun, yang dipegang oleh Majlis Mahkamah Rakyat. d. kekuasaan Reusam, yang dipegang oleh penguasa tunggal, yaitu Sultan sebagai penguasa tertinggi waktu negara dalam keadaan perang.
Dalam Qanun Meukuta Alam ini juga disebutkan bahwa dalam memerintah kerajaan, Sultan tunduk kepada Qanun. Sedangkan kadli Malikul Adil, Mufti Empat Besar, Keurukon Katibul Muluk dan Perdana Menteri serta sekalian Menteri Kerajaan Aceh, tunduk kepada Sultan dan juga Qanun. Menurut Augustin de Bealieu pada masa ini ada empat macam lembaga pengadilan di Aceh, yitu perdata, pidana, agama, dan niaga. Pengkhususan yang begitu konkret ini menunjukkan betapa pada masa itu Aceh sudah sangat maju dalam hal peradaban.
Pengadilan perdata diadakan setiap pagi kecuali pada hari Jum'at di sebuah balai (Bali) besar dekat mesjid utama. Yang mengetuainya salah seorang dari orang kaya yang paling berada. Kegiatan pengadilan perdata ini misalnya dalam hal perkawinan bagaimana pengadilan telah bertindak dengan memberikan surat pengakuan.
Pengadilan pidana terdapat dibalai lainnya ke arah gerbang istana. Yang menjadi ketuanya adalah sejumlah orang kaya paling penting. Mereka bergantian dalam memimpin jalannya peradilan. Pengadilan ini menangani persengketaan yang muncul di kota seperti pembunuhan atau pencurian. Beaulieu mengungkapkan kekagumannya mengenai ketika seorang penjahat ditangkap karena berkelakuan buruk, bahkan oleh gadis muda atau anak kecil sekalipun, ia tidak berani melarikan diri melainkan tetap diam seperti patung. Mengenai undang-undang yang diterapkan tidak diketahui apa-apa, tetapi cara-cara pemeriksaan dan hukuman yang dijatuhkan cukup keras. "Ujian Tuhan".
Hukuman yang paling lazim ialah pukulan rotan yang "bisa dihindari dengan uang mas", artinya dengan membayar denda dan dengan menyogok algojo. Jika kesalahannya lebih besar, maka orang yang dihukum akan kehilangan sebagian dari tubuhnya: mata dicungkil, hidung, telinga bahkan anggota badan dipancung atau dipenggal. Dalam hal yang belakangan ini, yang dipenggal kaki atau tangan, lalu buntungnya segera dicelupkan ke dalam air dingin dan dibalut dengan "kantung kulit" yang menghentikan perdarahan. Ketika Bealieu sedang menunggu chappe (cap) dib alai ia melihat seorang laki-laki yang terperkara akibat mengintip istri tetangganya mandi, ia dikenakan hukuman 30 kali cambukan. Tetapi si penjahat bernegoisasi dengan si algojo, ia menawarkan 20 mas dan langsung dibayar ditempat sehingga ia hanya menerima 29 kali cambukan rotan dalam keadaan tetap berpakaian.
Jika kejahatan dihukum mati, maka si terhukum disulakan, ini berlaku untuk orang kecil, karena orang terkemuka menjalani hukuman mati dengan cara yang lebih "sopan". Mereka ditempatkan di ladang luas yang tertutup, diberi semacam sabit besar sebagai senjata dan dengan demikian harus membela diri seorang diri melawan segerombolan penyerang — yang pada umumnya terdiri atas sanak saudara keluarga yang dirugikan (terutama dalam hal zina). Maka mereka masih mempunyai harapan.
Dicatat bahwa keempat "merinyu atau sersan mayor" yang tugasnya menjaga ketertiban di keempat daerah kota masing-masing tidak selalu membawa si tertuduh ke pengadilan, tetapi dapat menghukum penjahat, pelaku pencurian kecil-kecilan yang tertangkap basah hingga diikat pada tiang hukuman dan dikenakan denda.
Pengadilan agama dipimpin oleh Kadi. Ia memiliki kekuasaan atas mereka yang dianggap melanggar hukum agama. Mungkin kekuasaan pengadilan itu diperkuat oleh Sultan yang ingin agar dipatuhi aturan-aturan akhlak dan perilaku keagamaan yang baik, yang menurut Bustan us-Salatin ditegakkan olehnya.
Pengadilan niaga berada di dekat pelabuhan, di “Alfandegue” ada "balai tempat diselesaikan segala perselisihan antara pedagang, baik yang asing maupun yang pribumi". Pengadilan ini diketuai "orang kaya Laksamana yang boleh dianggap sama dengan wali kota". Sejumlah besar sida-sida sibuk melaksanakan perintahnya.
Kesimpulan
Iskandar Muda adalah anak dari Mansyur Syah Aceh sebelumnya. Dari pihak ibunya yaitu Puteri Indra Bangsa. Ia adalah cucu dari Sultan Alaiddin Riayat Syah. Walaupun ia telah menjadi Yatim sejak usia dua tahun ia hidup bahagia dan mendapatkan keahlian yang cukup memadai bagi seorang Sultan dikarenakan ia merupakan cucu kesayangan Sultan Saydil al-Mukamil.
Ketika berumur sekitar 24 tahun ia menjadi Sultan Aceh, dan mengantarkan Aceh ke puncak kejayaannya. Ia membuat Aceh menjadi sangat aman dan damai dengan diterapkannya Qanun meukuta Alam. Dari undang-undang yang dibuatnya dan lembaga peradilan yang ada pada masa itu telah menunjukkan kepada kita secara garis besar bagaimana majunya Aceh. Dan betapa hak setiap orang harus dihargai semasa itu. Bahkan orang-orang barat terheran-heran bagaimana setiap orang mematuhi hukum dan tidak mencoba melarikan diri sewaktu ditangkap.
Yang perlu kita ingat adalah bahwa memang benar Aceh pernah mencapai zaman keemasan, bukan hanya sekedar cerita rakyat saja. Dan tokoh Iskandar Muda merupakan raja yang sanggat cerdas sehingga mampu mengantarkan Aceh ke zaman keemasannya.
DAFTAR REFERENSI
Amin, Samsul Munir . 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Chaidar, Al. 1999. Gerakan Aceh Merdeka Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam. Jawa Barat: Madani Press.
Djamil, M. Junus. 1968. Tawarich Radja-Radja Keradjaan Atjeh. Banda Aceh: Adjdam-I/Iskandarmuda.
Halimi, Ahmad Jelani. 2008. Sejarah dan Tamaddun Bangsa Melayu. Kuala Lumpur: Unipress Printer SDN BHD.
Hasjmy, Ali . 1975. Iskandar Muda Meukuta Alam. Jakarta: Bulan Bintang.
Kurdi, Muliadi. 2009. Aceh di Mata Sejarawan. Banda Aceh: LKAS.
Lombard, Denys. 2008. Kerajaan Aceh Zaman Sulthan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Muljana,Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKIS.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Reid, Anthony dkk. 2011. Memetakan Masa Lalu Aceh. Bali: Pustaka Larasan.
Reid, Anthony. 2010. Sumatra Tempo Doeloe, dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Jakarta: Komunitas Bambu.
Said, Mohammad. 2009. Aceh Sepanjang Abad. Medan: Harian Waspada Medan.
Soekomo, R. 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Kansius.
Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2006. Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh. NAD: Badan Perpustakaan Nangroe Aceh Darussalam.
Sufi, Rusdi dkk. 2008. Aceh Tanah Rencong. NAD: Pemerintah Nangroe Aceh Darussalam.
Sufi, Rusdi. 1995. Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda. Jakarta: CV Dwi Jaya Karya.
Zainuddin, H.M. 1957. Singa Atjeh. Medan: Pustaka Iskandar Muda.
Zainuddin, H.M. 1961. Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda.
some nice Islamic reminder
GREAT advice!
“When you see someone who is not as religious, remember that you were once on the edge of the fire, and it was Allah Subhaana wa Ta’ala’s favor upon you to guide you. Arrogance will wipe away any goodness from the transformation.”
** Ustad Nouman Ali Khan **
--Anger Management
Prophet Muhammad (peace be upon him) instructed the one in anger to recite ta’awwudh (A‘ūdhū billāhi min al shaytani al rajīm - I seek refuge in Allāh from the rejected devil).
Salmān bin Ṣard (may Allah be pleased with him) said, “I was seated with the Prophet (peace and blessings upon him) while two men were using coarse language at each other. The face of one of them had gone red while his jugular veins swelled. The Messenger of Allah (peace and blessings upon him) said, ‘I know of a statement if he is to say it, that [rage] which he is experiencing would go away. If only he would say “A‘ūdhū billāhi min al Shaytani al rajīm’” (Sunan Abī Dawūd and Tirmidhī)
Some other things you may do to calm yourself down are listed below:
• Make wudhū (ablution) [See: Musnad Ahmad].
• Make supplication to Allah to protect you from the harms of anger and rage.
• Make the dhikr (remembrance) of Allah.
• Realize that this will be over sooner or later.
• Improve your problem solving and communication.
• Accept your mistakes and be honest to yourself.
• Learn to forgive and forget.
May Allah facilitate success.
--HIJAAB:
And say to the believing women that they cast down their looks and guard their private parts and do not display their ornaments except what appears thereof, and let them wear their head-coverings over their bosoms, [Quran 24:31]
Aisha (ra) mentioned the women of Ansar, praised them and said good words about them. She then said: When Surat an-Nur (wear their head-coverings over their bosoms,) came down, they took the curtains, tore them and made head covers of them. [Abu Dawood 32:4089]
Harsh wordings and rudeness is not the way by which Islam was Preached. In 23 years of Prophet’s Mohammed(sws) Islamic preaching, not one word of Harshness or insult could be found.
“Invite to the way of your Lord with wisdom and good advice, and debate with them in the most dignified manner. Your Lord is aware of those who stray from His path, and He is aware of those who are guided.” [Quran 16:125]
may Allah help Us to be better Moslem.
flanel cantik n' cute
Subscribe to:
Posts (Atom)